Sabtu, 23 April 2011

Kehidupan Mengajariku

oleh: Linda Jayanti, Mahasiswi FBS UNJ

Namaku syerly, aku seorang wanita yang menyukai nuansa alam yang indah dan menakjubkan. Dari alam lah aku banyak belajar tentang arti dan makna kehidupan yang sebenarnya. Hampir setiap saat, aku mendapatkan pelajaran berharga yang tak ternilai harganya.
 Aku suka merenung dan berpikir sejenak, tentang orang-orang tangguh yang mewarnai perjalanan hidupku. Mereka adalah orang-orang yang memiliki semangat baja, pantang menyerah, tak kenal lelah, tak pernah mengeluh, dan tak pernah putus asa. Kali ini, aku akan menyampaikan beberapa kisah yang membuat aku bersemangat dan terus menjalani kehidupan dengan berusaha melakukan yang terbaik. Ini bukan sekadar kisah, tapi bisa dijadikan renungan dan hikmah, serta aku berharap, kamu bisa mengambil makna yang tersirat di setiap kejadian, untuk kehidupanmu.
 
Kisah ini dimulai ketika aku mengenakan baju putih, rok abu-abu. Saat itu, sekolahku sedang menyelenggarakan kegiatan jalan-jalan. Bukan jalan-jalan untuk bersenang-senang, tapi, jalan-jalan ke tempat penginapan di rumah penduduk yang terletak di cilengsi. Di sana aku ditemani dengan wali kelasku dan semua guru yang terlibat menyelenggarakan kegiatan ini.
Aku bersama dengan teman-temanku, menapaki suatu perjalanan yang cukup jauh. Sesampainya di tempat tujuan, aku dan teman-temanku sedikit shock. Ternyata aku dan teman-temanku dibawa ke daerah terpencil. Seperti daerah isolasi. Tapi, mau bagaimana lagi, semua sudah terlanjur disini.
Guruku membagikan kelompok yang terdiri dari empat orang, setiap kelompok ditemani wali kelasnya masing-masing. Setelah guruku membagikan kelompok dan semua murid mengetahui teman sekelompoknya, aku dan teman-temanku langsung bergegas ke tempat lokasi rumah yang akan menjadi tempat penginapan. Awalnya aku dan teman-temanku agak kesulitan mendapatkan rumah yang alamatnya tertulis dalam secarik kertas. Tapi, Alhamdulillah, akhirnya aku menemukan rumah yang dimaksud.
“ Assalamu’alaikum ” Kataku, teman-temanku, dan wali kelasku.
“ Wa’alaikumsalam wr.wb ” Jawab Seseorang yang berada di dalam rumah.
“ Ibu, saya adalah orang yang mensurvei rumah ibu kemarin, dan ini adalah anak murid saya yang akan tinggal disini selama beberapa hari ” Kata Wali kelasku.
“ Ohhh iya, ayo silakan masuk, maaf rumahnya seperti ini. ” Kata Ibu yang memiliki rumah tersebut.
“ Iya tidak apa-apa, Bu. ” Kataku dan juga teman-temanku.
“ Nah, kalian disini dulu ya, bapak tinggal dulu, kalian disini baik-baik ya ” Kata Wali kelasku sambil tersenyum. ”
Wali kelasku ke tempat dimana semua guru berkumpul. Aku dan teman-temanku saling pandang. Bukan karena Wali kelasku pergi, tapi memandang melihat kondisi rumah yang akan kami tempati.
“ Mari, silakan duduk. ” Kata Ibu yang berumur sekitar setengah abad itu.
“ Ibu tinggal disini sama siapa saja ? ” Kata salah satu temanku yang bernama windi.
“ Ibu tinggal disini bersama anak ketiga (anak yang paling kecil), sebab anak ibu yang pertama dan kedua sedang bekerja, pulang kesini seminggu sekali. Ibu punya tiga anak dan semuanya laki-laki. Maaf ya, ibu mau kebelakang dulu, permisi. ” Kata Ibu itu.
Kami saling menatap satu sama lain. Mungkin apa yang dipikiran teman-temanku, sama seperti apa yang sedang aku pikirkan. Aku berpikir dan melihat kondisi rumah yang lantainya masih semen, ruang tamu yang kursinya lusuh, tidak ada pekarangan rumah, tidak ada pagar rumah, bahkan kamar mandi pun tidak ada. Bangunan rumahnya terbuat dari trellis yang mudah roboh, kamarnya banyak sabang dimana-mana, tempat tidurnya dari kayu triplek, lemarinya penuh debu. Sungguh mengenaskan dan memprihatinkan.
Akhirnya, kami mandi dan wudhu di mushola yang jaraknya tak jauh dari rumah itu. Aku mandi dengan teman-temanku secara bergantian. Setelah mandi sore, aku kembali ke rumah itu, dan langsung bergegas menyiapkan perlengkapan untuk sholat teraweh. Saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan.
Kami membaca buku sambil menunggu waktu berbuka. Dan tak terasa, sudah waktunya untuk berbuka.
“ Ayo neng, batalin puasanya dulu, ini minumannya, dan ini makanannya. ” Kata Ibu sambil tersenyum simpul.
“ Terima kasih, bu. Maaf ya, bu. Jadi ngerepotin. ” Kata kami (aku dan juga teman-temanku).
“ Tidak apa-apa neng, Ibu nyiapkan ini, sama saja seperti Ibu menyiapkan makanan untuk anak-anak ibu. Kata Ibu.
            Tak ku sangka, dibalik rumah yang menurutku jauh dari kata layak, terdapat seorang wanita yang gagah perkasa, berjiwa besar, baik, dan tulus. Terus berjuang melawan arus kehidupan yang terkadang kejam. Tapi, semua itu, dijadikan tantangan yang harus dilewati, untuk hari esok yang lebih baik.
            Keesokan harinya, aku dan teman-temanku sedang bercengkrama. Namun, hal itu tak berlangsung lama, teman-temanku ngantuk, dan akhirnya tidur. Tapi, anehnya kenapa aku nggak ngantuk ya. Tapi, ya sudahlah. Hal sepele, tidak usah dipikirkan. Aku mencoba melihat ke belakang rumah dan dapur. Aku melihat ibu itu sedang memasak. Coba kamu bayangkan, masaknya menggunakan tungku dan kayu bakar. Aku merasa iba melihat semua ini.
“ Eh, ada neng, mau ngapain neng ke dapur ? ” Kata Ibu ramah itu.
“ Nggak ngapa-ngapain Bu, Cuma mau ngeliatin aja. Kataku. (padahal niatku ingin membantu).
“ Ibu, pelihara banyak ayam ya ? ”(sebab aku melihat sendiri, ternyata banyak ayam di belakang).
“ Iya neng, ayam-ayam itu ibu pelihara dengan baik, kalau sudah waktunya, ayam-ayam itu bertelur, dan telurnya bisa ibu jual untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. ”
Waw, jawaban yang membuatku terharu dan ingin meneteskan air mata. (Kataku dalam hati).
“ Bu, adakah yang bisa aku bantu ? ” Kataku lirih.
“ Tidak usah neng, biar ibu sendiri saja yang ngerjain, nanti ngerepotin neng ” Kata Ibu.
“ Nggak apa-apa kog bu, sekalian aku ingin belajar memasak. ” Kataku memelas.
“ Tidak usah neng, Ibu bisa sendiri kog. ” Kata Ibu
“ Baiklah, Bu ” Kataku.
“ Bu, aku ingin bertanya sesuatu, dari kamarin aku tidak melihat suami ibu, memangnya kemana, Bu ? ” Tanyaku dengan rasa penasaran.
“ Suami ibu sudah lama meninggal, neng. Sekarang ini, ibu hanya tinggal sendiri, ibu sudah tak ada pendamping hidup lagi, tapi ibu tetap tegar terhadap semua ini, kehidupan harus dijalani neng, nggak ada gunanya juga kalau ibu terus-terusan sedih, lebih baik ibu melakukan hal-hal yang bermanfaat. Lagian juga kita semua nantinya akan mati, neng. Kita asalnya dari tanah dan akan kembali ke tanah. Ya, beginilah neng kehidupan ibu sehari-hari. ” Kata Ibu sambil meneteskan air mata.
“ Maaf ya, Bu. Aku tidak bermaksud membuat ibu sedih. Sekali lagi aku minta maaf. ” Kataku.
“ Tidak apa-apa neng. ” Kata Ibu sambil menghapus air mata yang membasahi pipinya.
Melihat kondisi ibu, aku merasa tergugah terhadap ketegaran seorang Ibu yang hidup apa adanya. Dengan kehidupan yang serba kekurangan, tak membuat ibu merasa putus asa, malah sebaliknya, hal ini membuat ibu menjadi sesosok wanita perkasa, yang pantas diancungi jempol. Dalam hal ini, menjadikan aku bersyukur terhadap apa yang aku dapatkan dan aku mendapatkan secercah cahaya yang menyinari hatiku untuk lebih peka terhadap kehidupan orang lain.
Keesokan harinya. Tak terasa sudah waktunya untuk pulang. Aku jadi sedih, rasanya waktu cepat sekali berlalu. Sebab, rumah ini merupakan salah satu tempat yang memberikan aku pelajaran hidup.  Dan Wali kelasku sudah menjemputku.
“ Terima kasih, Bu. Telah mengurus anak-anak kami dengan baik. ” Kata Wali kelasku.
“ Iya, sama-sama Pak. Maaf rumahnya seperti ini. ” Kata Ibu
“ Nggak apa-apa, Bu. Hal itu tidak menjadi masalah bagi kami. ” Kata Wali kelasku.
            Akhirnya kami segera bergegas untuk pulang ke rumah masing-masing. Sekarang aku tau bahwa tujuan menginap disini agar anak-anak muridnya pandai bersyukur. Jangan mencari apa yang tidak kita punya, tapi syukurilah apa yang kita miliki. Jangan melihat ke atas, tapi lihatlah ke bawah, banyak saudara-sauadara kita yang membutuhkan uluran tangan kita. Sedikit untuk kita, tapi sangat bermakna untuk mereka. ^_^
            Itu hanya salah satu kisah nyata yang pernah menghiasi perjalanan hidupku dan tak terasa, sekarang ini aku sudah duduk di bangku kuliah. Dunia kampus jauh berbeda dengan dunia sekolah semasa sd,smp,sma. Hal ini jelas karena namanya juga mahasiswa. Jadi, sudah dianggap dewasa. Perlakuannya pun juga berbeda dengan anak yang masih sekolah. Disinilah kita dituntut untuk lebih bisa memimpin dan bertanggung jawab pada diri sendiri.
            Pada saat aku menjadi maba alias mahasiswa baru, aku harus beradaptasi dengan  lingkungan sekitar, program-programnya, pembelajarannya jam belajarnya, organisasinya, dosen-dosennya, teman-temannya, pokoknya seputar kehidupan di kampus deh. Dan satu lagi, tugas yang seabrek-abrek membuat aku kelagepan juga, hehe. Tugas tuch untuk dikerjain, bukan untuk diliatin. Akhirnya aku mengerjakan tugas dengan antusias.
            Seiring waktu berlalu, di saat aku melakukan rutinitas, pernah aku dilanda rasa bosan dan malas dengan aktivitasku sehari-hari. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena aku mendapatkan pelajaran berharga dalam hidupku. Walaupun aku dilanda bosan dan malas, tapi aku tetap saja ke kampus.
Di dalam perjalanan, aku bertemu dengan seorang yang tunanetra, aku melihatnya, dan ia mengenakan tongkat untuk membantunya berjalan.
Aku hanya berkata : “ Ya ampun kasihan sekali, kemana ya tujuannya ? ” Tanyaku dalam hati.
Aku dan tunanetra itu berada dalam satu bus.
Akhirnya, dikit lagi sampai kampus. Aku bersiap untuk turun. Pada saat aku turun, ternyata tunanetra itu juga turun, aku memperhatikan tunanetra itu dengan seksama. Dan aku kaget, ternyata, tunanetra itu adalah seorang mahasiswa. Sudah kuduga sebelumnya, tapi aku tak menghiraukan hal itu.
             Ia berjalan menggunakan tongkatnya, dan akupun mencoba untuk membantunya. Walaupun aku tak mengenalnya, tapi tak ada salahnya untuk membantu. Ingin aku menyapanya, tapi, entah kenapa mulutku tak bersuara. Aku berjalan di sampingnya secara perlahan, dan akhirnya sampai juga di pintu gerbang kampus. Aku tetap berada di sampingnya, karena aku khawatir, terjadi apa-apa pada dirinya. Dan pada akhirnya, kami berpisah di perpustakaan. Hal itu karena ia menuju ke perpus, sedangkan aku menuju kelas.
            Sekejap tapi menyentuh. Aku tercengang sekaligus membuat aku jadi malu. Tunanetra saja masih antusias untuk mengikuti pembelajaran di kampus, sedangkan aku, aku terlahir dengan normal, kenapa juga aku harus males-malesan kayak gini, saat itu aku jadi bersemangat lagi. Terima kasih tunanetra karena kamu menyadarkan diriku. (Kataku dalam hati).
            Di kampusku tersedia ruang untuk mahasiswa penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus. Ingin sekali rasanya, aku melihat langsung proses pembelajaran penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus. Aku hanya ingin berusaha memahami apa yang mereka rasakan, mengetahui perilaku mereka yang unik membuat aku semakin penasaran terhadap semua ini. Akan tetapi, aku tak tau tempatnya terletak dimana, hal itu membuat aku sedikit kecewa.
             Lagi-lagi kehidupan mengajariku. Aku bertemu dengan anak berkebutuhan khusus di tempat aku mengajar. Sayangnya, aku tidak mengajarinya, anak itu diajar oleh pemilik les privat tersebut. Tapi, yang aku ketahui dari anak berkebutuhan khusus yaitu ia cukup kesulitan berkonsentrasi, dan harus diajarkan one by one (satu guru, satu murid). Anak berkebutuhan khusus bukanlah anak yang bodoh. Ia juga memiliki talenta yang luar biasa yang bisa dibanggakan.
            Tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Namun, hal itu bukan untuk saling mencela, akan tetapi semua itu untuk saling melengkapi satu sama lain.
            Temukanlah inti kekuatanmu, Tentukanlah minat dan bakatmu di suatu bidang yang kamu sukai, asahlah, dan terus latihan. Semua itu bisa menjadi potensi yang menakjubkan sehingga semua orang terpukau melihat aksimu.
            Siapapun dirimu, apapun latar belakangmu, jadilah diri kamu sendiri, untuk hari ini, hari esok, dan untuk masa depanmu nanti.
             
           







0 komentar:

Posting Komentar