FSI-KU Gallery

FSI-KU punya banyak kegiatan di FBS. Yuk intip kegiatan apa saja yang sudah dilaksanakan FSI-KU mewarnai Fakultas Bahasa dan Seni :)

#GerakanAyoMentoring

#GerakanAyoMentoring yang digalakkan oleh Dept.LCIA di FBS menuai hasil yang Subhanallah. FBS sudah ikut mentoring, bagaimana dengan kamu? Mentoring: Mencerdaskan dan Mensolehkan :)

Pengurus FSI-KU

Bismillah, Assalamulaikum teman-teman sekalian. Mau kenal siapa-siapa saja yang ada didalam kepengurusan FSI-KU FBS UNJ di masa Amanah 2013? yuk taarufan!

Budaya Muslim FBS

Sebagai Kampus Pendidikan, FBS UNJ juga harus punya Budaya Muslim. Yuk kenali apa saja Budaya Muslim di FBS dan jangan lupa dipraktekan ya bro!

Nasyid FSI-KU

FSI-KU punya Nasyid loh! Namanya Nasyid Amoeba. Yuk kenalan siapa saja sih kakak-kakak bersuara merdu ini!

Sabtu, 05 Maret 2016

Kajian Islam Fsi-Ku (KALAMKU) Edisi Perdana

Bersatu Dalam Naungan Allah SWT

Kata bersatu sering diidentikkan dengan kata bersama-sama. Karena ketika seseorang ingin bersatu maka seseorang tersebut harus bersama-sama dengan orang lain dan tidak mungkin kata bersatu ini merujuk kepada kesendirian.

Kata bersatu juga sering kita temui di banyak tempat, mulai dari jargon-jargon khas caleg-caleg sewaktu pemilu sampai dengan di seminar-seminar motivator terkemuka sekalipun.
Sebenarnya apakah kata bersatu tersebut benar-benar dapat kita praktekkan di dalam kehidupan kita? Jawabannya tergantung masing-masing individu yang menjawabnya. Tetapi yang pasti adalah kata bersatu itu memiliki filosofinya tersendiri. Dan filosofi dari kata bersatu tidak hanya ada satu macam tetapi terdiri dari berbagai macam filosofi.

Yang pertama adalah bersatu itu berarti kita harus bersama-sama dengan orang lain. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa memang dari segi bahasanya kata bersatu ini seharusnya sepadan dengan kata bersama-sama karena bersatu pasti harus bersama-sama dengan orang lain. Apalagi pada hakikatnya manusia di seluruh dunia itu harus bersatu dengan orang lain. Mengapa? Karena manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin dapat hidup sendirian, pasti ada saatnya ketika kita meminta bantuan kepada orang lain walaupun kita bersikeras dapat hidup sendiri tapi tidak dapat dipungkiri bahwa bersatu atau dengan kata lain bersama-sama itu merupakan suatu  yang wajib kita lakukan sebagai makhluk sosial

Yang kedua adalah saat kita bersatu atau bersama-sama dengan orang lain maka kemungkinan besar tidak mungkin atau mustahil bagi kita untuk bisa sama dengan orang yang bersama kita tersebut. Karena yang sering kita jumpai di jargon-jargon dan juga pada hakikatnya bersama belum tentu sama. Dua orang yang bersama-sama pasti pada akhirnya kedua orang tersebut memiliki perbedaan satu sama lain sekalipun dua orang tersebut adalah seorang kembar siam yang artinya kembar yang artinya kembar yang benar-benar mirip dari segi fisik tapi pasti memiliki perbedaan dari segi sifat dan wataknya. Apalagi jika dua orang yang bersatu tersebut adalah dua orang suami istri pasti keduanya memiliki perbedaan yang sangat banyak dan tidak mungkin bisa sama, yang satu sudah pasti laki-laki dan yang satunya lagi pasti perempuan. Dan perbedaan tersebut seringkali pada akhirnya melahirkan yang namanya konflik, baik konflik sepele antara suami istri sampai dengan konflik yang bisa mengancam seluruh dunia seperti konflik antar pemerintah yang ada diberbagai belahan dunia.
Oleh karena itu ketika kita bersatu atau bersama-sama tersebut, maka bersatunya kita atau bersama-samanya kita harus diorientasikan dengan bersatu yang mengikutsertakan Allah SWT di dalamnya. Atau dengan kata lain bersatu dalam naungan Allah SWT. Dalam konteksnya dengan dakwah Islam maka sudah seharusnya dalam dakwah tersebut kita beramal jama’i, artinya kita tidak sendiri-sendiri dalam menyeru kepada kebaikkan tersebut tetapi harus bersama-sama. Hal inilah yang bisa kita sebut sebagai bersatu dalam naungan Allah, yaitu beramal jama’i dalam menyebar dakwah Islam.

Bekal kita ketika beramal jama’i adalah Iman dan Takwa kita kepada Allah SWT. Ada enam orientasi ketika kita sudah mengikuti rombongan amal jama’i berdakwah di jalan Allah SWT.

Orientasi yang pertama adalah komitmen awal kita ketika ikut dalam rombongan amal jama’i tersebut adalah niat karena Allah SWT dan tujuan awal kita ketika ikut dalam barisan tersebut adalah meraih ridho Allah SWT.

Orientasi yang kedua adalah menjadikan urusan selain urusan kepada Allah itu kecil. Artinya segala urusan yang tujuannya bukan karena Allah di dalamnya dianggap sebagai urusan yang sepele atau alias tidak penting untuk segera kita kerjakan sebaliknya jika urusan tersebut adalah untuk membela panji syiar Islam di bumi Allah atau mengerjakan kebaikkan-kebaikkan serta ibadah yang tujuannya karena Allah menjadi urusan yang dinomor satukan dan yang paling awal akan kita kerjakan.

Orientasi yang ketiga adalah meyakini adanya keberkahan di atas kebaikkan. Artinya akan adanya kebaikkan-kebaikkan yang akan kita dapatkan ketika kita berada di dalam barisan amal jama’i, baik itu kebaikkan berupa pahala maupun kebaikkan berupa dipermudahnya segala urusan kita ataupun ditambahnya rezeki yang diberikan kepada kita.

Orientasi yang keempat adalah kita sebagai rombongan amal jama’i berdakwah di jalan Allah harus mengedepankan yang namanya kesholehan kolektif. Artinya jangan sampai dalam satu rombongan tersebut yang sholeh/ah hanya kita saja ataupun yang sholeh/ah hanya sebagian orang saja, tetapi kalau memungkinkan yang sholeh/ah tersebut adalah semua orang yang ada di dalam rombongan amal jama’i tersebut bagaimanapun caranya. Karena mereka merupakan teman seperjuangan kita sekaligus saudara seiman jangan sampai yang masuk surga hanya satu orang atau sebagian orang saja dari banyaknya orang yang berada di rombongan tersebut. Seperti dalam surah Ali-Imron ayat 102-103:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim. Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama), dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (QS: Ali-Imron: 102-103)

Orientasi yang kelima adalah kita harus bertanggung jawab dalam menjaga ukhuwah dan dakwah. Artinya ketika kita sudah di dalam barisan dakwah tersebut, maka kita memiliki tanggung jawab dalam menjaga ukhuwah, baik antar sesama teman satu perjuangan maupun dengan objek dakwah kita. Dan juga kita bertanggung jawab dalam berdakwah, artinya ketika kita sudah bergabung dalam amal jama’i yang tujuannya untuk berdakwah, maka kita harus ikut berdakwah jangan hanya menjadi penonton dan pada akhirnya memberatkan saudara-saudara kita atau teman seperjuangan kita lainnya yang juga ikut serta di dalamnya.

Orientasi yang keenam adalah ketika kita sudah bersatu dalam amal jama’i maka jangan sampai ada ambisi terselubung di dalamnya dan mulai banyak melakukan amal kebaikkan. Artinya jangan sampai niat kita ketika ikut jama’ah tersebut hanya untuk mencari jodoh atau hanya untuk agar terkenal, maka yang akan kita dapatkan adalah sesuai dengan yang kita niatkan. Ketika kita niatnya mencari jodoh yang kita akan dapatkan adalah jodoh. Beda halnya dengan ketika kita niatnya karena Allah SWT semata maka semuanya akan kita dapatkan sekaligus. Artinya baik jodoh atau popularitas akan kita dapatkan sendirinya tanpa kita niatkan yang bisa dikatakan sebagai bonus. Sementara itu kita juga harus banyak-banyak melakukan amal kebaikkan ketika kita seudah bersatu dalam jama’ah tersebut karena setiap amal kebaikkan yang kita lakukan maka akan menambah keberkahan dari pergerakkan yang kita lakukan. Dan sebaliknya jika banyak amal keburukkan atau maksiat yang kita lakukan walaupun sudah bergabung dalam amal jama’i tersebut, maka malah akan memberatkan turunnya ridho Allah terhadap pergerakkan yang telah kita lakukan.

Setelah kita mengetahui enam orientasi yang harus kita lakukan ketika ikut rombongan amal jama’i yang tujuannya berdakwah menyerukan kebaikkan, maka kita harus segera melakukan hal tersebut agar segala tujuan dari jama’ah tersebut dapat terpenuhi. Dan walaupun kita sudah bersatu dalam naungan Allah tetapi perbedaan-perbedaan pasti akan terjadi seperti kata jargon-jargon yang telah disebutkan di awal bahwa bersama tidak akan bisa sama. Tetapi dengan kita bersama-sama bersatu di dalam naungan Allah dan sudah menjalankan enam orientasi di atas perbedaan-perbedaan tersebut insya Allah tidak akan melahirkan yang namanya konflik tetapi melahirkan yang namanya ukhuwah, ukhuwah Islamiyah.

Wallahualam bishowab
Akhirul kalam wa bilahi taufik wal hidayah
Wassalamualaykum warrohmatullahi wabarokatuh

Minggu, 06 Desember 2015

Jilbab Putih Safira


karya : Heri ST

Pagi itu udara berhembus dingin. Bekas hujan telah meninggalkan basah dan licin di sepanjang jalan. Air-air yang tergenang dan menetes di tepian genting. Serta tanah yang becek berlumut. Safira tiba di sekolah lima menit sebelum bel berbunyi. Bukan pada gerbang sekolah, ia menghadapkan tubuhnya, tapi pada dinding besar, yang serupa benteng pemisah kehidupan liar dengan tatanan sistem akademik yang akhir-akhir ini menjerat kebebasan rohani Safira. Bukan pendidikan yang ia benci, melainkan aturan politik yang merangsek masuk dan menebas kebebasannya berhubungan dengan sang Khalik.
Safira berpikir sejenak, sebelum memanjat tembok besar di hadapannya. Pertama, ia takut dengan tembok licin berlumut, yang lebih tinggi dua kali lipat dari tinggi badannya. Kedua, ia bimbang, perlu menanggalkan jilbab atau tidak, seperti hari-hari kemarin. Safira menggigit ujung jemari telunjuknya, seolah membuka bungkus jawaban di balik bagian tubuh itu. Sekejap kemudian, ia sudah memanjat. Jilbab putihnya ia sangkutkan di bahu tembok. Susah payah tangannya mencengkeram tembok yang dingin, basah, dan berlumut. Satu menit kemudian, ia sudah berada di taman sekolah yang dipagari pohon rambutan. Suatu saat, pohon itu pasti akan ditebang, karena dianggap melindungi siswi berkerudung yang melanggar aturan sekolah pemerintah.
Di balik pohon rambutan itulah, Safira nekat mengenakan jilbabnya kembali. Ia berjalan cepat menuju kelas. Setengah berlari. Matanya berkeliling. Takut diketahui Kepala Sekolah, kalau dia dalam keadaan berjilbab. Beberapa murid menatapnya sinis. Tapi ia tak peduli. Sebab, Allah menyayangi orang-orang yang bertakwa. Begitu kata Latifah, teman sekelasnya yang sejak SD sudah berjilbab rapi.
“Safira...!” teriak Latifah sumringah. “Mantaap!” Gadis itu mengangkat dua jempol. Safira ngos-ngosan.
“Huuh.. untung gak ketahuan.._Eh, lenganmu kenapa?” Ucap Safira sambil memegang lengan Latifah yang terluka.
“Tadi kegores, waktu manjat tembok..”
“Astagaaa..” Safira menutup mulutnya dengan jemari.
“Aah.. cuma luka begini kok..!”
“Ya.. begini juga kan luka.” Latifah tersenyum manis. “Apa yang bakal terjadi selanjutnya yaa??” Tanya Safira kemudian.
“Udaah.. tenang ajah. Allah bersama kita.” Safira memperhatikan wajah teduh Latifah. Gadis itu memberinya kekuatan. Tapi kemudian kekuatan itu melemah, begitu melihat Nurul, Dhian, dan Mawar telah menanggalkan jilbabnya. Ini pertama kalinya Safira melihat rambut Nurul yang ternyata sangat rapi dan halus. Ia pikir, Nurul adalah akhwat tulen, tapi hari ini keteguhan gadis itu runtuh. Ketakutan pada Kepala Sekolah ataupun rezim militer telah
mengalahkan ketakutannya pada Allah. Safira kecewa kepada gadis itu,_semoga hanya untuk hari ini.
Kemarin, Kepala Sekolah mendatangi kelas-kelas dan mengancam bahwa siapa saja yang masih berani berjilbab, akan dikeluarkan dari sekolah ini. Dan silakan beralih ke sekolah Muhammadiyah. Maka, orang tua para murid gelagapan. Sekolah-sekolah Islam kalah pamor dengan sekolah negeri. Dan biayanya lebih mahal. Safira dan Latifah sepakat, tidak memberitahu orang tuanya terkait ancaman ini. Mereka memilih berlindung dalam naungan Allah. Sebab, rezim otoriter yang dzalim, jauh berada di bawah kendali Allah. Ini hanyalah sebuah ujian keimanan atas tiap-tiap orang yang akan naik tingkat sebagai generasi muttaqin.
“Semua akan baik-baik saja..” kata Latifah sehari yang lalu. Nurul, Mawar, Dhian, dan Safira mendengarkan nasihat muslimah tangguh itu. “Pak Sasongko, pak Nazar, bu Arini.. bahkan pak Harto.. mereka semua makhluk Allah juga kan? Hidup dalam genggaman Allah. Sekeras apapun dan sekejam apapun mereka mengusik jilbab kita, mereka takkan bisa mengusik kuasa Allah..”
Safira menelan ludah. Mawar berkaca-kaca. Nurul menitikkan air mata. Dhian memperhatikan wajah mereka bergantian. Setelah itu sunyi. Bu Arini telah berdiri di depan pintu. Tatapannya sinis, menembus kaca mata yang bening. Guru yang cantik itu tak pernah lepas dari kebenciannya pada aturan syar’i.
“Masih mau berjilbab?” ucapnya begitu kami tiba di luar kelas. “Silakan angkat kaki dari sekolah ini, seperti yang dilakukan bu Azizah.”
Safira melihat jaring laba-laba di liang mata bu Arini. Rasanya ingin ia singkirkan mata sinis itu.
***
“Setelah ini mata pelajaran Pak Nazar,” bisik Safira sambil melongok koridor dari kaca jendel. Latifah terdiam. Jemarinya bergetar. Ia tahu, keadaan ini takkan bisa bertahan. Abinya berkali-kali berucap; “siapa yang berkuasa, maka ia punya kendali untuk mengubah, merusak, dan melibas hak-hak warga negara. Maka, orang baik harus bersusah payah menjadi pemimpin, jangan biarkan kedzaliman yang memimpin kita.”
“Berharap saja Pak Nazar sudah bertaubat, tidak lagi membenci agamanya sendiri.”
“Duuh.. sebentar lagi Pak Sasongko pasti keliling kelas. Razia.. gimana ini, Fah??” Safira gemetar. Keningnya berkeringat. Wajahnya memucat. Ia panik, membayangkan amarah di wajah Pak Sasongko yang berhati marmer.
Safira dan Latifah duduk kembali. Segenap mata menangkap wajahnya yang bimbang. Dua perempuan itu mencoba khusyuk membaca Al-Qur;an. Meski jantung mereka berlompatan. Dalam hening itulah, seseorang berteriak.
“Pak Kepsek razia jilbab! Sekarang sudah sampai kelas 12 IPA 2!” Safira dan Latifah saling menatap. Ada cahaya surgawi di balik bongkahan mata mereka, bertubrukan dengan rasa takut yang menikam. Tiga puluh dua pasang mata menangkap paras mereka. Latifah masih membaca Qur’an, berputar di surat An-Nur ayat 31. Ia pastikan, bahwa aturan dari rezim dzalim takkan mampu menaklukan keteguhan imannya. Ia pastikan, bahwa sang pencipta membisikkan perintah-Nya dalam An-Nur ayat 31. Ia pahami betul, bahwa jilbab bukan bagian dari fundamentalisme ataupun radikalisme. Ia yakin, bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar dan setia menggenggam keimanan, meski bara panas mengalir di telapak kakinya. “Cukuplah Allah bagiku, dan Ia adalah sebaik-baik penolong,” bisik Latifah. Safira mengikuti,_tepat ketika Pak Sasongko sudah berada di muka pintu. Bedil tajam terasa berjatuhan menghunus batin dua gadis berjilbab itu.
“Cuma dua?!” suara itu bergelagar di kelas 12 IPA 3. Murid-murid mengangguk. “Baguss.. tidak perlu ada drama sembunyi-sembunyi. Ayoo! KELUAR! IKUTI SAYA!!” Perinta itu mengarah pada Latifah dan Safira. Safira langsung melonjak. Mukanya merah padam. Kesal, malu, takut, bercampur jadi satu dalam permukaan wajahnya yang masih berlapis jilbab. Sementara Latifah masih membatu, menatap lurus penuh amarah yang tertahan. Ia berusaha menancapkan aturan dalam dirinya, bahwa perintah dari manusia (apalagi manusia yang dzalim) tidak boleh terlalu cepat direspon. “CEPAAATT!” Kali ini Safira menarik-narik lengan Latifah. Perempuan itu tampak tenang, namun terlihat jelas, rasa kesal menyeringai batinnya.
Mereka berdua digiring seperti bebek. Bersama delapan belas perempuan berjilbab dari beragam kelas dan tingkatan. Beberapa dari mereka tetap tersenyum, tenang, gemetar seperti Safira, dan beberapa merekatkan bibir dan memicingkan mata, ingin melawan, seperti Latifah.
Para muslimah itu berdiri satu saf. Menghadap wajah-wajah keji milik Pak Sasongko, dan beberapa guru yang menjadi bagian dari rezimnya. Safira menundukkan wajah.
“Pilihannya sederhana..” kata Pak Sasongko setelah puas meneriakkan para siswi dengan istilah radikal dan ekstrimis. “Tanggalkan kerudung kalian!_atau, angkat kaki dari sekolah ini! Silakan cari sekolah lain yang mau menampung golongan ekstrimis seperti kalian.” Ahh.. kata-kata itu sungguh menusuk di batin Safira dan rekan-rekannya. Ia tak sanggup untuk mempertahankan air mata yang sejak tadi melapisi bola matanya. Sejenak ia menatap Latifah yang tampak tegar menatap ke depan. Ia melihat cahaya iman di balik mata bening gadis itu. Jemarinya bersilangan dengan jemari Farah, rekan dakwahnya.
Satu per satu murid merontokkan jilbabnya. Meletakkan sayap-sayap kemuliaan itu di meja. Rambut yang sebelumnya tersembunyi, menyembul menampakkan diri. Menghirup udara penat, terurai dilihat mata non-mahrom. Setiap helainya berteriak, merutuki kelemahan sang pemilik mahkota. Adakah surat An-Nur masih bercahaya di dada mereka? Adakah hukum Allah masih diletakkan di genggaman mereka? Atau, telah diinjak-injak oleh sepatu rezim otoriter, yang menghembuskan kembali nafsu jahiliah.
Setelah itu tak ada yang terdengar, kecuali isak, dan langkah kaki yang berhamburan keluar. Mereka yang memilih melepas jilbab, keluar dalam keadaan jemari membungkus langit kepala. Meski, semua itu takkan mengubah keadaan. Apalagi mengubah apa yang ditulis sang malaikat pencatat amal. Setelahnya pak Kepsek berujar lagi; “siapa berikutnya? Yang sudah sadar?”
Kini tinggal Farah, Latifah, Habibah, Safira, dan tujuh orang lagi yang masih teguh menggenggam janji. Mereka yang yakin, akan kuasa Allah, dan tauhid telah menancap dalam hati-hati mereka. Bagi para muslimah itu, tatapan sengit Pak Sasongko hanya sebatas ujung jarum, yang bisa diselesaikan dengan membalik ujungnya, mengarah pada lubang jarum yang tumpul.Jilbab itu masih merekat. Masih membentang sebagai kemuliaan. Sebagai identitas dan kepasrahan diri, mencintai Allah dan Rasul-Nya. Sebab mereka percaya, bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Bahkan, jika perjuangan jilbab ini menuntut nyawa mereka, mereka telah siap sebagai syuhada. Maka selamanya, yang hak, akan membungkam yang batil. Pak Sasongko bersama agen-agen yang memusuhi Islam angkat bendera putih. Latifah tersenyum puas. Meski ia harus siap meninggalkan sekolah ini. Matanya terpejam sesaat. Di benaknya melintas rasa syukur. Akhir dari perjalanan dakwahnya di sekolah ini, menghasilkan sosok Safira yang teguh membentangkan jilbab sampai ke dada. Sementara Safira, perlahan-lahan merebahkan jemarinya di bahu kanan, lalu menarik mahkota putihnya, sampai jarum pentul di mahkota itu jatuh ke lantai. Ia meletakkan kerudung putih, jarum pentul, dan air mata di meja, di hadapan Pak Sasongko. Semua itu ia lakukan, tepat ketika ia sadar,_bahwa selama ini
ia tak pernah tahu, alasan utamanya mengenakan jilbab.

***

Jakarta, 6 Desember 2015

gambar diunduh dari bindywithhubby.wordpress.com

*

Sabtu, 19 September 2015

Dakwah, Cinta, dan Kepasrahan

          Dakwah adalah cinta dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Begitu kata KH. Rahmat Abdullah dalam tulisannya seputar dakwah. Selayaknya cinta, diri ini berserah padanya. Perasaan itu akan menghinggapi setiap jengkal hidup seorang da’i. Segala yang ia miliki akan dikorbankan untuk dakwah, untuk umat. Segalanya. Tenaga, pikiran, waktu, uang, dan apapun yang ada di dalam dirinya. Bahkan, ketika dakwah menuntut nyawanya, ia mesti siap menjual barang satu-satunya itu, demi menolong agama Allah.

          Teringat ketika pertama kali membuka buku fiqih dakwah. Kutipan yang paling menancap dalam benak saya adalah tentang sekelompok tahanan Mesir yang dipenjara oleh rezim tiran. “Ya Naqib (pemimpin grup), bagaimana nasib kita bila mereka lemparkan kita ke sarang serigala lapar atau lubang busuk tanpa kehidupan?” Dengan mantap Musthafa Masyhur menjawab; “Mereka dapat membuang kita ke tempat manapun yang kita takuti, namun ketahuilah mereka takkan mampu membuang kita ke tempat yang tak ada Allah.”

           Lalu, apa yang sebenarnya membuat seseorang menyusuri jalan berkerikil tajam dan tak jelas ujungnya ini? Sementara, ada miliaran orang yang memilih jalan lain, bahkan menebar duri, atau terang-terangan membangun portal; memusuhi dakwah. Dan mengapa? Segolongan orang nekat mengabdikan diri untuk menebar kebaikan, dan membungkam keburukan? Sementara telah banyak kisah mengerikan yang menjadi catatan pilu para syuhada di jalan dakwah. Mengapa, pada akhirnya, jalan ini membuat kita sama-sama meyakini, bahwa Islam itu nyata. Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru pada kebaikan, menyuruh (berbuat) yang makhruf, dan mencegah dari yang mungkar.

          "Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-Imran: 104)."

          Dakwah, ibarat sebuah pesan darurat yang mesti diteruskan ke setiap penjuru. Minimal, ke orang-orang terdekat yang ada di daftar kontak kita. Tanpa dakwah, risalah Islam hanya akan menjadi dokumen pribadi yang tersimpan di berangkas Rasulullah, dan cinta yang termuat di dalamnya takkan pernah sampai menyentuh hati-hati manusia di muka bumi. Para pendakwah, adalah orang-orang yang menyampaikan pesan itu, memberitahu kabar baik, dan kabar buruk dengan sisipan hikmah di dalamnya. Sehingga, bersamaan dengan itu, ikut masuk cahaya surgawi yang menghangatkan jiwa. Eksistensi agama Islam, tidak lepas dari peranan dakwah. Jika di masa-masa awal risalah, agama ini hanya eksis di bumi Arab, kini merambah ke segala penjuru dunia, termasuk di bumi katulistiwa; Indonesia. Celupan Islam yang hari ini kita rasakan, adalah bagian dari akumulasi usaha yang dilakukan oleh para pendahulu, untuk terus menebar agama Islam ke belahan dunia lain. Melintasi benua, mengarungi samudra, dan menyebrang pulau-pulau yang terhampar. Sebagai orang yang beriman, tentu bukan hal yang benar jika kita menyimpan pengetahuan dan kebenaran itu sendiri. Tanpa ada rasa peduli terhadap orang-orang yang hari ini, belum mengenal Rabb-nya.

          Banyak orang yang berpendapat; tidak usah kita bersusah payah menggiring orang lain untuk mentauhidkan Allah secara utuh, biarkan saja dia menemukan hidayahnya sendiri. Bukankah, hati-hati mereka berada di bawah kuasa Allah? Pemikiran semacam ini perlu diluruskan.

Sejatinya, jalan menuju hidayah itu memang telah terpampang nyata di hadapan manusia. Akan tetapi, seringkali hati mereka ditutupi kesombongan dan lekas berpaling dari jalan yang benar. Maka, perlu ada orang-orang berjiwa mulia yang membersamai mereka di jalan menuju hidayah itu. Orang-orang yang dikatakan Salim A. Fillah sebagai orang-orang yang memetik cinta dari langit, lalu menebarkannya di bumi. 

Ya, cinta itu ada di langit, sementara umat berada di muka bumi. Butuh, perantara yang menghubungkan langit kepada bumi. Orang-orang yang di dalam hatinya, tersingkap cinta dari langit, lalu ia sematkan cinta itu ke hati manusia yang belum menemukan jalan lurus menuju cintanya Allah. Menyerahkan diri di jalan dakwah, berarti siap dengan segala konsekuensinya. Sebab dakwah memintamu untuk pasrah, meminta segalanya yang kau miliki, dan menghisap energimu. Dakwah bukan sekadar menyampaikan. Tapi menuntut hati yang tertawan oleh rasa cinta pada agama Allah, kemudian menghubungkan cinta itu dengan setiap langkah yang diambil. Dakwah akan efektif, jika hati kita senantiasa terpaut pada Allah SWT. Berusaha agar koneksi itu senantiasa terhubung. Agar, objek dakwah lebih menerima segala hal yang kita sampaikan.

Kesadaran itulah yang menjadikan dasar penting bagi saya ketika baru mengenal apa sebenarnya dakwah? Dan bagaimana, berdakwah di lingkungan pergaulan kampus? Lingkungan di mana segala macam pertentangan ideologi berkembang, bertubrukan, dan bersaing untuk menjadi yang paling banyak diikuti. Berada di lingkup kampus, membuat saya mengerti betapa pentingnya dakwah di ranah ini. Meskipun, saya baru mengenal dakwah di semester tiga akhir. Setelah sebelumnya, sibuk membenahi diri. Mereformasi keimanan, dan kurang begitu peduli dengan iman orang lain. Bagi saya, kampus merupakan tempat strategis untuk memproduksi kalangan intelektual dengan ragam bidang profesi, dan tentu saja, variasi ideologi. Sebab, di masa kuliah, mahasiswa dituntut untuk mengolah pikirannya, sehingga mampu bersaing dan menyampaikan argumen kritis. Tidak jarang, saking kritisnya, mahasiswa mulai kehilangan arah, dan lupa bahwa tidak selamanya segala hal bisa ditelusuri/dikritisi secara ekstrem. Sampai-sampai menanggalkan akidah demi bisa disebut sebagai mahasiswa kritis. 

Kita tahu, bahwa mahasiswa menjadi ujung tombak perubahan zaman. Sebab mereka yang akan meneruskan tongkat estafet peradaban. Hal yang bersifat futuristik, ada di genggaman mereka, dan semua bidang vital, akan menjadi lahan garapan mereka. Seperti ekonomi, sosial, politik, hukum, dan lainnya, akan berada di bawah kendali para intelektual di negeri ini, yang tentu saja, berakar dari institusi perguruan tinggi. Pada akhirnya, dakwah harus tumbuh di setiap sudut kampus, dan menghisap segala keburukan yang ada, serta memberi keteduhan jiwa bagi para generasi penerus bangsa. Agar, bisa menekan pertumbuhan generasi intelektual yang lemah dari segi spiritual quotient. Dan kampus, harus mampu memproduksi generasi intelektual yang rabbani, dan memiliki fikrah Islami yang kuat.

             Dalam surat Al-Alaq ayat 1 diterangkan; Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan Bukan sekadar membaca, tapi membacanya dengan menyebut nama Allah. Penting sekali, dalam hal ini, mahasiswa memadukan antara hasrat menuntut ilmu, dengan tetap berpegangteguh pada tali agama Allah, agar tidak tersesat dalam tipu daya ilmu duniawi, yang kadang menggiring kita ke jurang kesesatan, dan mendadak menjadi orang yang membenci agamanya sendiri. Bahkan, secara tanpa sadar, berpikiran liberal, dan menjurus ke arah yang lebih berbahaya lagi, yaitu; meragukan eksistensi Tuhan.

Ada banyak variasi dakwah yang bisa diaplikasikan dalam upaya meneruskan risalah. Seperti dakwah bil qudwah, dakwah bil hikmah, dakwah tadwin, dakwah ilmy, dakwah bil hal, dakwah fardhiyah, dan sebangsanya. Bagi saya, variasi dakwah itu bukanlah daftar menu yang mesti kita pilih dan kita sesuaikan dengan budget dan porsi energi yang kita miliki. Akan tetapi, semuanya harus dikombinasikan. Sehingga membentuk kekuatan luar biasa dalam suatu pergerakan dakwah. Inilah yang disebut dengan totalitas dakwah. Dakwah bil qudwah, bisa dibilang sebagai dakwah yang dilakukan secara otomatis. Dakwah yang dikemas dalam ibadah. Dengan hanya membaca al-qur’an di pojok mesjid kampus, sudah menjadi sarana dakwah yang efektif. Meskipun dakwah lewat keteladanan sikap memang bukan dakwah yang luas jangkauannya (cenderung sulit menembus hati orang-orang yang masih jauh dari nilai-nilai keIslaman), Akan tetapi, lewat dakwah ini, mampu memotivasi saudara-saudara muslim lain yang menemani kita di jalan dakwah. 

Dakwah lewat hikmah, adalah yang paling berpeluang menembus hati objek dakwah. Berdakwah dengan hikmah, berarti harus siap menyuguhkan sisi lemah lembut dari agama Islam. Hal yang mampu membuat seseorang jatuh cinta pada agama ini. Saya biasa menghubungkan dakwah hikmah, dengan dakwah tadwin. Karena hikmah itu perlu disampaikan lewat cara yang kreatif dan tersebar ke segala lapisan. Apalagi, sekarang zamannya media. Anggap saja, objek dakwah kita adalah robot-robot yang separuh hidupnya ada di dunia maya. 

Dakwah tadwin saya ter-cover lewat pengabdian diri sebagai tim media centre di Forum Studi Islam Khidmatul Ummah FBS UNJ. Kontribusi yang saya berikan dalam bentuk pembuatan buletin Lebah-KU, desain kreatif dengan aplikasi photoshop, serta pembuatan video pendek inspiratif-Islami dengan brand TV-KU (Televisi Khidmatul Ummah). Banyaknya jumlah pengguna media sosial twitter, facebook, line, dan sebagainya membuat saya tergerak untuk terus menulis, dan memposting status bernilai dakwah. Imam Syafi’i pernah mengatakan; jika tidak ada orang berilmu yang mau berjuang dengan penanya, maka orang-orang zindiq akan menari-nari di atas mimbar. 

Satu lagi yang mendukung gerakan dakwah adalah prestasi. Menjadikan prestasi sebagai kendaraan untuk berdakwah. Dalam hal ini, lahan perjuangan dalam dakwah yang paling minimal adalah dengan menstabilkan indeks prestasi di atas tiga koma. Dan sebisa mungkin, mampu menjadi mahasiswa berprestasi, minimal di jurusan sendiri, agar nantinya mampu menginspirasi banyak orang, dan menjadi figur yang patut diteladani. Bagi saya, di ranah kampus, dakwah prestasi adalah jalur yang paling efektif untuk berdakwah. Sebab, di sini merupakan kumpulan orang- orang yang mau berpikir, dan keunggulan seseorang dinilai dari catatan prestasinya sepanjang hidup. Cara yang saya lakukan untuk dakwah prestasi adalah dengan mengikuti beragam jenis lomba (terutama lomba menulis), serta berusaha menjangkau IPK di atas 3,75. 

Selanjutnya dakwah sosial. Bagi saya, dakwah ini yang paling terasa berat. Sebab, kepekaan sosial kita benar-benar harus diuji. Seberapa cintanya diri ini pada umat. Apakah mampu untuk tidak nyenyak tidur karena memikirkan penderitaan rakyat kecil di negeri ini. Hal yang bisa saya lakukan hanya sebatas turun ke jalan, ikut aksi bersama tim pergerakan kampus. Meneriakkan ketidakadilan, dan kesengsaraan rakyat. Selain itu, dakwah bil hal saya secara langsung masih sebatas keresahan batin. Tiap kali pulang malam dari kampus, saya sering menyaksikan kengerian hidup anak jalanan di perempatan Slipi Petamburan. Pernah suatu ketika, ada seorang anak jalanan yang hendak mengamen di angkot yang saya tumpangi. Ia berteriak memanggil adiknya yang ketinggalan naik. Sang adik berlari, namun kecepatan relatif angkot telah mengalahkan langkah kecilnya. Sang kakak kesal, dan turun dengan cekatan di saat angkot masih melaju. Anak kecil itu raib dari pandangan saya, tergantikan oleh petak-petak cahaya yang menyoroti bagian belakang mobil. Dakwah saya.., tertahan hanya sampai batin. Atau jangan-jangan.. itu bukan bagian dari dakwah.

Berikutnya, dakwah personal. Ini adalah dakwah favorit saya. Karena lebih terasa dari hati ke hatinya. Hasil yang didapat variatif. Kadang, membuat hati ini terharu, ketika melihat objek dakwah berubah menjadi lebih baik. Lebih tekun ibadahnya. Kadang, putus asa karena sulitnya menyematkan celupan Islam ke hati objek dakwah. Tidak jarang, saya menarik diri dari kehidupan personal, demi berjuang mengenalkan orang lain akan keindahan Islam yang belum sepenuhnya mereka rasakan. Semua bentuk dakwah yang saya jalani, tentu tidak terlepas dari orang-orang yang membersamai. Para saudara di jalan Allah. Jujur, jika liburan datang, bagian tersulit dari menikmati liburan itu adalah rasa rindu ingin berkumpul bersama mereka. 

Para lokomotor dakwah di Fakultas Bahasa dan Seni UNJ. Seorang sahabat pernah membuatkan kami poster yang berisi tulisan; you never walk alone on DAKWAH. Saya tempel poster itu di lemari, dan memandangnya setiap kali rasa lelah menghampiri. Itulah, cara menyingkirkan rasa penat yang paling sederhana. Selain dari mendengar lagu bingkai kehidupan, atau mars pemuda Islam. Satu hal penting yang tidak boleh saya tinggalkan sebagai pengemban dakwah adalah; belajar shirah (sejarah). Bagi saya, shirah merupakan kaca spion kita dalam berdakwah. Melirik sepintas ke belakang (flashback), untuk mengetahui strategi apa yang pas untuk dilancarkan. Memodernisasi shirah, menerjemahkannya dan menyesuaikannya dengan zaman. Sederhananya seperti ini, jika ada suatu persoalan, kita perlu melirik referensi shirah yang berkaitan dengan masalah tersebut, lalu diaplikasi dengan sedikit modifikasi agar sesuai dengan zaman saat ini. Misalkan, saya belajar tentang pentingnya berdakwah ke orang-orang penting/para pemegang kekuasaan, atau istilah gaulnya the MVP (the Most Valuable Person), dari kisah turunnya surat ‘Abasa. Perihal kedatangan Abdulllah Ibn Ummi Maktum ketika Rasulullah sedang berdakwah ke para pembesar Quraisy. Begitupun, dengan adanya sisipan dakwah yang strategis saat kita melantunkan Al-Qur’an dengan suara merdu. Ingat kembali, ketika dulu Umar bin Khattab terketuk untuk masuk Islam karena ayat-ayat Al-Qur’an berhasil menelusup masuk ke hatinya. Semua itu penting untuk sama-sama kita pelajari. Belum lengkap rasanya, jika seorang pendakwah belum pernah membaca habis buku shirah nabawiyah.

          Kembali ke istilah totalitas dakwah. Entah mengapa, saya suka sekali dengan frase ini. Seolah, setiap detik dalam hidup adalah dakwah. Belajar di kelas, berorganisasi, bahkan sampai makan di kantin... ada sisipan dakwah yang kita pikirkan. Istilah sosialnya; memikirkan umat. Dan siapapun yang sedang memikirkan umat, tentu bukan simpul senyum yang tampil di wajahnya, melainkan lipatan di kening, yang menandakan betapa tugas kita belum selesai. Mungkin tidak berlebihan jika saya katakan, bahwa dakwah ini dibangun dari air mata, peluh, dan tubuh yang remuk kelelahan. Menyisakan lingkar mata yang hitam menandakan jam tidur yang tidak sesuai kehendak tubuh.

          Dakwah ini yang merenggut segalanya yang saya dan rekan-rekan saya miliki. Tapi bukan jalan dakwah namanya, kalau tidak ada keikhlasan untuk merelakan segalanya itu. Bukankah tujuan hidup kita adalah Allah? Bosan? Lelah? Mengeluh? Ingin lari, dan futur? Seringkali saya rasakan. Tapi lekas- lekas saya teringat dengan tulisan KH. Rahmat Abdullah, bahwa kita mesti terus bergerak sampai kelelahan lelah mengikuti kita. Terus bertahan, sampai kefuturan futur menyertai kita. 

Lalu, bersamaan dengan itu saya ingat- ingat kembali mengapa dulu memilih jalan ini? Ada satu hal yang biasa saya keluhkan di jalan dakwah, yaitu; mengapa Allah menghidupkan saya di zaman ini?. Zamannya para pemimpin dzalim. Zaman yang di dalamnya fitnah bertebaran. Menjadi pendakwah, berarti harus siap diolok-olok sebagai teroris, Islam fanatik, dan sebangsanya. Tidak jarang, saya mencukur bulu dagu untuk menyamarkan diri, agar terlihat lebih netral. Barangkali tiga puluh tahun yang akan datang, kita mesti membuat tato (tidak permanen) demi menembus pergaulan objek dakwah. 

Dakwah sekarang berhadapan dengan perang pemikiran. Perang yang tidak jelas siapa pemenang dan pecundangnya? Yang jelas, selagi para kaum zindiq bebas menebar kesesatan, berarti mereka tengah berada selevel di atas kita. Lalu, kapan semua ini berakhir? Kapan para pendakwah menemukan muara perjuangannya? Tanya saya di sela-sela kefuturan yang mengigit. Dan saya jawab sendiri pertanyaan retoris itu. Akhir dari sebuah perjalanan dakwah bukan ketika turunnya surat Al-Maidah ayat 3. Akhir dari sebuah perjalanan dakwah bukan ketika Muhammad Al Fatih berhasil menaklukan konstantinopel. Bukan pula ketika fathuh Makkah. Ataupun ketika Islam berhasil menjadi agama terbesar kedua di Amerika. Akhir dari sebuah perjalanan dakwah adalah kemenangan ISLAM, atau mati sebagai syuhada. Mati ketika hati masih bertaut pada kesetiaan akan dakwah. Maka begitulah, saya dan para pejuang sejati, tidak akan berhenti di jalan ini sebelum semuanya berakhir. Sebelum panji-panji itu berkibar, atau selongsong peluru menembus ke dalam daging. 

“Demi Allah, andai saja mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, (lalu mereka minta) agar aku meninggalkan urusan (agama) ini, maka demi Allah, sampai urusan (agama) itu dimenangkan oleh Allah, atau aku binasa di jalannya, aku tetap tidak akan meinggalkannya.” (HR. Ibn Hisyam)


-Heri Samtani-


 gambar diambil dari : fauzan-magetan.blogspot.com

Minggu, 30 Agustus 2015

Mira Marini, "Bloody Process" Sang Juara 3 Ajang Mawapres UNJ




 Jadi Mawapres? Siapa sih yang nggak mau? Jadi sosok yang membanggakan sekaligus menginspirasi banyak orang?

     Barangkali impian inilah yang menelusup masuk ke relung batin Mira Marini, sampai akhirnya ia menancapkan tombak perjuangan untuk menjadi Mawapres Universitas Negeri Jakarta. Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ini telah lama bermimpi untuk menjadi Mawapres.

     Ceu Mir (Panggilan akrab Mira Marini), adalah sosok yang meneruskan tongkat estafet seniornya, Hendry Rifa'i dan Wahyudi (mahasiswa JBSI) yang pernah mewakili FBS di ajang Mawapres tingkat Universitas. Dari semester awal, muslimah kelahiran 26 September 1994 ini, banyak menorehkan prestasi yang gemilang. Baik dari segi akademik, maupun non akademik. Ia pernah menyabet juara I lomba cipta dan baca puisi di acara Solidaritas Sastra Untuk Palestina tahun 2013. Dan baru- baru ini, Ia terpilih sebagai delegasi Indonesia di acara Pidato Antar Bangsa Bahasa Melayu, yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia.

Woow.. amazing kaan?!

     Mau tahu lebih banyak seputar perjuangan Mira Marini? Yuk, langsung ajah baca wawancara ekslusif tim Media Centre and Public Relation FSI-KU dengan Mira Marini.

Sejak kapan sih kamu mulai menancapkan impian untuk jadi Mawapres UNJ?
Sejak Maba (a.k.a Mahasiswa Baru)

Terus, persiapan apa saja yang dilakukan untuk menggapai impian tersebut?
Cari peluang berprestasi sebanyak-banyaknya. Mencari info lomba. Concern terhadap akademik.

Sebenarnya, apa motivasi terbesar kamu?
Betapa inginnya saya, sebagai muslimah, berprestasi, menjadi ambassador, duta, representasi tegaknya keilmuan dalam balutan warna-warni keIslaman yang melekat dalam diri saya. Impian terbesarnya sih, mewarnai kancah internasional dengan jilbab "lebar" saya yang bagi sebagian orang aneh. Hehe. Sebab, sesungguhnya tiap-tiap kita memegang peran dai dan mengemban tugas dakwah, maka mungkin dengan berprestasi itulah salah satu caranya.

Adakah rintangan yang selama ini menghambat jalan perjuangan kamu?
Motivasi yang naik turun layaknya iman. Terkadang ada satu saat, saya merasa ingin menyerah. Sebab, saya merasa tidak layak. Padahal perang belum dimulai. Intinya, kendala terbesar bagi diri sendiri. Terutama penyakit akut yang namanya MALAS. Setiap orang, punya tokoh inspirasi.

Lalu, siapa tokoh yang menjadi inspirasi kamu?
Dr. Zakir Naik, Erdogan, Malala Yousafzai, dan Helvy Tiana Rosa

Seperti apa sih perjuangan kamu dalam mengikuti ajang ini? 
Gambaran kasarnya, ketika teman-teman lain mampu tidur 5 jam, saya harus tidur 1 jam untuk menyelesaikan makalah, pemberkasan, latihan-latihan, membaca banyak buku, dan sumber referensi. Atau, ketika teman-teman lain fokus untuk belajar di kelas dan memikirkan UAS saja, maka saya tidak. Kalau pikiran teman-teman bercabang dua antara UAS dan tugas, saya harus bercabang tujuh, dan seterusnya. “Bloody Process sudah PASTI. Tapi, ada satu keyakinan yang membuat saya tetap melaju dan melangkah maju, yaitu: ORANG-ORANG BESAR, LAHIR DARI IMPIAN BESAR. IMPIAN BESAR HANYA AKAN TERWUJUD DENGAN USAHA-USAHA BESAR, UJIAN BESAR, DAN KEPUTUSAN-KEPUTUSAN BESAR. Intinya harus lebih PAHIT dan SAKIT.”

Bagaimana pandangan kamu terhadap pesaing- pesaing kamu di tingkat fakultas, maupun universitas?Mereka luar biasa!

Apa saja sih faktor penting yang membuat kamu berhasil menyabet juara 3 Mawapres UNJ?
Attitude, dan Public Speaking, sepertinya itu. Tapi, ada hal lain, yang tak kalah penting. Dalam sebuah kompetisi diperlukan kerendahhatian dan keikhlasan sebelum kalah atau sebelum menang. Itu tips untuk menjaga hati kita dalam berkompetisi.

Pernahkah terbersit rasa minder/kurang PD/ Psimis menggelayut di pikiran kamu?
 PASTI PERNAH. Selalu saya temui di atas langit masih ada langit, dan begitu seterusnya. Yang membuat saya PD adalah, Allah yang menentukan, menyoal segala keputusan. So, tugas kita hanya BERUSAHA, DOA, TAWAKAL, semuanya kudu MAKSIMAL. Hal lain, kembalikan sama pemilik dunia dan seisinya. Siapa yang selama ini menyemangati kamu untuk terus berjuang di ajang ini? Orang tua pastinya, dan dosen-dosen jurusan yang nggak pernah surut semangatnya. Kaka mentor, rekan BPH BEM FBS dan kaka-kaka FSI-KU, yang membersamai saya di jalan dakwah.

Dengan menjadi juara 3, apa kamu sudah cukup puas akan capaian prestasi?
Sangat bersyukur, tapi bukan puas. Bukan pula tidak puas karena kecewa. Ketidakpuasan ini muncul sebab ada hasrat dan gairah untuk mencapai hal-hal lain di depan kelak, bukan hanya dalam kesempatan ajang mawapres saja.

Ada nggak sih, trik khusus untuk sukses di ajang Mawapres?
Tenang, jaga attitude, ikhlas, sebelum kalah, dan sebelum menang

Menurut kamu, mengapa kita harus bermimpi dan berjuang untuk menggapai mimpi itu? HARUS. Bagi saya, mimpi itu the power of life.

Terakhir. Kalau boleh tahu, apa impian terbesar kamu?
 Menjadi istri dan ibu yang sukses menjalankan perannya.


Lebih lanjut, mengenai Mira Marini (Ceu Mir) bisa kamu temukan di; 

Twitter: @miramarini77
Aktivitas saat ini: Kuliah, Mengajar
Pengalaman Organisasi: Staf ILC FSI-KU, Kadept Pendidikan BEM FBS
Hobi: Cari kesempatan untuk berprestasi, cari beasiswa, baca, jalan-jalan, nonton.
Cita-cita: Istri dan Ibu yang SUKSES. Pengajar Bahasa Indonesia di Bumi Eropa
Motto: Tidak ada nikmatNya yang mampu kita dustakan

(hst/MCNR FSI-KU/Mira Marini)



Sabtu, 09 Mei 2015

Buletin Khidmatul Ummah April 2015




We are Social! Let's Join us :D

Jumat, 13 Maret 2015

Transformasi Dakwah Islam

Apa Tujuan Dakwah Kita?
Sebuah pergerakan dakwah, tentu memiliki tujuan. Memiliki goal, dan cita-cita.
"Mengajak manusia kepada penghambaan kepada Allah SWT..."
Ke siapa?.. Ke siapapun. mau dia berjilbab atau tidak berjilbab, berkoko atau tidak berkoko,bertato ataupun tidak bertato. Semua lapisan mesti dirangkul. Sesuai dengan tuntutan hidup sebagai muslim. 
Minimal ketika bertemu memberi salam, berjabat tangan, menjenguk jika ada yang sakit, dan mengurusi jenazah. Memenuhi hak-hak tersebut jangan pandang bulu. Baik dia yang kau pandang jahiliah, tetap dipenuhi haknya sebagai sesama muslim. Tidak boleh tidak peduli.
Bahkan salah satu tanda hari kiamat adalah, kaum muslimin tidak lagi memikirkan hukum waris dan mengurus jenazah. Jadi, sebagai seorang aktivis dakwah, tentunya kita harus tahu bagaimana caranya mengurus jenazah dengan cara islami.

"Zaman Saat ini, Zaman Apa?"
Pertanyaan itu dilontarkan berkali-kali oleh ustad Farid dihadapan kami yang tertunduk kikuk.  Ingin menjawab, tapi hati berkata: ahh.. takut salah..
Kemudian ia melanjutkan slidenya,
......Rekayasa Dakwah......
"saat ini adalah zaman rekayasa dakwah," ucapnya kemudian dengan tatapan mata yang paling busur.
"ketika gerakan dakwah direkayasa, maka bersiaplah! sebab bisa jadi, musuh-musuh Islam akan merekayasa gerakan kita!"
Sekarang ini, zaman ditimbulkannya perpecahan. Pemahaman-pemahaman yang tidak tahu dasarnya, gerakan-gerakan tanpa landasan Syar'i. Perlu teman-teman ketahui, gerakan dakwah di Indonesia termasuk yang paling banyak, dan dipelihara eksistensinya. Namun, seperti terkotak-kotak, tidak ampuh kendalinya.
Saat ini, dakwah beralih ke media. Era komunikasi mengubah tatanan kehidupan. Etika yang kurang menunjukkan keIslaman digelar di jejaring sosial. Dalam komunikasi maya, tidak ada tabayyun (klarifikasi) dan tidak mengenal kata saling husnuzan (berprasangka baik) antara satu dengan yang lainnya.
Efek media memang sangat besar di zaman sekarang ini. Indonesia sebagai negara besar, dinobatkan sebagai Peringkat ke-3 pengguna Facebook terbanyak, dan Peringkat ke-4 pengguna twitter terbanyak di dunia. Bahkan, DKI Jakarta diberi gelar sebagai user paling cerewet (paling sering nge-tweet) di jejaring twitter.
Memang saat ini, tokoh-tokoh publik, seperti AA Gym, Yusuf Mansur, Goenawan Moehammad, Ulil Abshar, Tifatul Sembiring, dan lainnya lebih aktif di media sosial twitter, ketimbang facebook. Hal inilah yang memunculkan stigma bahwa pengguna twitter, cenderung lebih intelek dan modern daripada medsos sebelah.
Melihat pengaruh komunikasi yang masuk melalui jejaring sosial, maka sudah sepatutnya, dakwah wajib terjun ke social media. Objek dakwah kita adalah mereka, yang saat ini banyak menghabiskan waktu di dunia maya. Sebab pada dasarnya, sekarang adalah zaman era komunikasi. 
Bukti era komunikasi yang paling nyata adalah terbentuknya komunitas ODOJ (One Day One Juz), yang berawal dari media sosial, sampai akhirnya menjamur, dan puncaknya ketika mereka melakukan launching di Mesjid Istiqlal.
Intinya, kita harus tau objek dakwah kita, dan harus tau zamannya. Agar bisa dipetakan, Seperti apa metode dakwah yang harus kita usung.
Terakhir dari saya, Apa yang hari ini kita lakukan, rencanakan, coba fikirkan kembali.  Agar gerakan dakwah kita ini bertransformasi, tidak sekadar dakwah yang asal.
-Taujih ini disampaikan Ustad Farid Ardhan pada saat Musyawarah Kerja FSI-KU-
Minggu, 1 Maret 2015

-Tulisan ini dinotulensikan oleh Heri Samtani, staff mcnr fsiku 2015-