Dakwah adalah cinta dan cinta akan meminta semuanya dari
dirimu. Begitu kata
KH. Rahmat Abdullah dalam tulisannya seputar dakwah. Selayaknya cinta, diri ini
berserah padanya. Perasaan itu akan menghinggapi setiap jengkal hidup seorang
da’i. Segala yang ia miliki akan dikorbankan untuk dakwah, untuk umat.
Segalanya. Tenaga, pikiran, waktu, uang, dan apapun yang ada di dalam dirinya.
Bahkan, ketika dakwah menuntut nyawanya, ia mesti siap menjual barang
satu-satunya itu, demi menolong agama Allah.
Teringat ketika pertama kali membuka buku fiqih dakwah.
Kutipan yang paling menancap dalam benak saya adalah tentang sekelompok tahanan
Mesir yang dipenjara oleh rezim tiran. “Ya Naqib (pemimpin grup), bagaimana
nasib kita bila mereka lemparkan kita ke sarang serigala lapar atau lubang
busuk tanpa kehidupan?” Dengan mantap Musthafa Masyhur menjawab; “Mereka dapat
membuang kita ke tempat manapun yang kita takuti, namun ketahuilah mereka
takkan mampu membuang kita ke tempat yang tak ada Allah.”
Lalu, apa yang
sebenarnya membuat seseorang menyusuri jalan berkerikil tajam dan tak jelas
ujungnya ini? Sementara, ada miliaran orang yang memilih jalan lain, bahkan
menebar duri, atau terang-terangan membangun portal; memusuhi dakwah. Dan
mengapa? Segolongan orang nekat mengabdikan diri untuk menebar kebaikan, dan
membungkam keburukan? Sementara telah banyak kisah mengerikan yang menjadi
catatan pilu para syuhada di jalan dakwah. Mengapa, pada akhirnya, jalan ini
membuat kita sama-sama meyakini, bahwa Islam itu nyata. Dan hendaklah di antara
kamu ada segolongan orang yang menyeru pada kebaikan, menyuruh (berbuat) yang
makhruf, dan mencegah dari yang mungkar.
"Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-Imran: 104)."
Dakwah, ibarat sebuah
pesan darurat yang mesti diteruskan ke setiap penjuru. Minimal, ke orang-orang
terdekat yang ada di daftar kontak kita. Tanpa dakwah, risalah Islam hanya akan
menjadi dokumen pribadi yang tersimpan di berangkas Rasulullah, dan cinta yang
termuat di dalamnya takkan pernah sampai menyentuh hati-hati manusia di muka
bumi. Para pendakwah, adalah orang-orang yang menyampaikan pesan itu,
memberitahu kabar baik, dan kabar buruk dengan sisipan hikmah di dalamnya.
Sehingga, bersamaan dengan itu, ikut masuk cahaya surgawi yang menghangatkan
jiwa. Eksistensi agama Islam, tidak lepas dari peranan dakwah. Jika di masa-masa
awal risalah, agama ini hanya eksis di bumi Arab, kini merambah ke segala
penjuru dunia, termasuk di bumi katulistiwa; Indonesia. Celupan Islam yang hari
ini kita rasakan, adalah bagian dari akumulasi usaha yang dilakukan oleh para
pendahulu, untuk terus menebar agama Islam ke belahan dunia lain. Melintasi
benua, mengarungi samudra, dan menyebrang pulau-pulau yang terhampar. Sebagai
orang yang beriman, tentu bukan hal yang benar jika kita menyimpan pengetahuan
dan kebenaran itu sendiri. Tanpa ada rasa peduli terhadap orang-orang yang hari
ini, belum mengenal Rabb-nya.
Banyak orang yang berpendapat; tidak usah kita
bersusah payah menggiring orang lain untuk mentauhidkan Allah secara utuh,
biarkan saja dia menemukan hidayahnya sendiri. Bukankah, hati-hati mereka
berada di bawah kuasa Allah? Pemikiran semacam ini perlu diluruskan.
Sejatinya, jalan menuju hidayah itu memang telah terpampang
nyata di hadapan manusia. Akan tetapi, seringkali hati mereka ditutupi
kesombongan dan lekas berpaling dari jalan yang benar. Maka, perlu ada
orang-orang berjiwa mulia yang membersamai mereka di jalan menuju hidayah itu.
Orang-orang yang dikatakan Salim A. Fillah sebagai orang-orang yang memetik
cinta dari langit, lalu menebarkannya di bumi.
Ya, cinta itu ada di langit,
sementara umat berada di muka bumi. Butuh, perantara yang menghubungkan langit
kepada bumi. Orang-orang yang di dalam hatinya, tersingkap cinta dari langit,
lalu ia sematkan cinta itu ke hati manusia yang belum menemukan jalan lurus
menuju cintanya Allah. Menyerahkan diri di jalan dakwah, berarti siap dengan
segala konsekuensinya. Sebab dakwah memintamu untuk pasrah, meminta segalanya
yang kau miliki, dan menghisap energimu. Dakwah bukan sekadar menyampaikan.
Tapi menuntut hati yang tertawan oleh rasa cinta pada agama Allah, kemudian
menghubungkan cinta itu dengan setiap langkah yang diambil. Dakwah akan
efektif, jika hati kita senantiasa terpaut pada Allah SWT. Berusaha agar
koneksi itu senantiasa terhubung. Agar, objek dakwah lebih menerima segala hal
yang kita sampaikan.
Kesadaran itulah yang menjadikan dasar penting bagi saya
ketika baru mengenal apa sebenarnya dakwah? Dan bagaimana, berdakwah di
lingkungan pergaulan kampus? Lingkungan di mana segala macam pertentangan
ideologi berkembang, bertubrukan, dan bersaing untuk menjadi yang paling banyak
diikuti. Berada di lingkup kampus, membuat saya mengerti betapa pentingnya
dakwah di ranah ini. Meskipun, saya baru mengenal dakwah di semester tiga
akhir. Setelah sebelumnya, sibuk membenahi diri. Mereformasi keimanan, dan
kurang begitu peduli dengan iman orang lain. Bagi saya, kampus merupakan tempat
strategis untuk memproduksi kalangan intelektual dengan ragam bidang profesi,
dan tentu saja, variasi ideologi. Sebab, di masa kuliah, mahasiswa dituntut
untuk mengolah pikirannya, sehingga mampu bersaing dan menyampaikan argumen
kritis. Tidak jarang, saking kritisnya, mahasiswa mulai kehilangan arah, dan
lupa bahwa tidak selamanya segala hal bisa ditelusuri/dikritisi secara ekstrem.
Sampai-sampai menanggalkan akidah demi bisa disebut sebagai mahasiswa kritis.
Kita tahu, bahwa mahasiswa menjadi ujung tombak perubahan zaman. Sebab mereka
yang akan meneruskan tongkat estafet peradaban. Hal yang bersifat futuristik,
ada di genggaman mereka, dan semua bidang vital, akan menjadi lahan garapan
mereka. Seperti ekonomi, sosial, politik, hukum, dan lainnya, akan berada di
bawah kendali para intelektual di negeri ini, yang tentu saja, berakar dari
institusi perguruan tinggi. Pada akhirnya, dakwah harus tumbuh di setiap sudut kampus,
dan menghisap segala keburukan yang ada, serta memberi keteduhan jiwa bagi para
generasi penerus bangsa. Agar, bisa menekan pertumbuhan generasi intelektual
yang lemah dari segi spiritual quotient. Dan kampus, harus mampu memproduksi
generasi intelektual yang rabbani, dan memiliki fikrah Islami yang kuat.
Dalam surat Al-Alaq ayat 1 diterangkan;
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan Bukan sekadar membaca,
tapi membacanya dengan menyebut nama Allah. Penting sekali, dalam hal ini, mahasiswa
memadukan antara hasrat menuntut ilmu, dengan tetap berpegangteguh pada tali
agama Allah, agar tidak tersesat dalam tipu daya ilmu duniawi, yang kadang
menggiring kita ke jurang kesesatan, dan mendadak menjadi orang yang membenci
agamanya sendiri. Bahkan, secara tanpa sadar, berpikiran liberal, dan menjurus
ke arah yang lebih berbahaya lagi, yaitu; meragukan eksistensi Tuhan.
Ada banyak variasi
dakwah yang bisa diaplikasikan dalam upaya meneruskan risalah. Seperti dakwah
bil qudwah, dakwah bil hikmah, dakwah tadwin, dakwah ilmy, dakwah bil hal,
dakwah fardhiyah, dan sebangsanya. Bagi saya, variasi dakwah itu bukanlah
daftar menu yang mesti kita pilih dan kita sesuaikan dengan budget dan porsi
energi yang kita miliki. Akan tetapi, semuanya harus dikombinasikan. Sehingga
membentuk kekuatan luar biasa dalam suatu pergerakan dakwah. Inilah yang
disebut dengan totalitas dakwah. Dakwah bil qudwah, bisa dibilang sebagai
dakwah yang dilakukan secara otomatis. Dakwah yang dikemas dalam ibadah. Dengan
hanya membaca al-qur’an di pojok mesjid kampus, sudah menjadi sarana dakwah
yang efektif. Meskipun dakwah lewat keteladanan sikap memang bukan dakwah yang
luas jangkauannya (cenderung sulit menembus hati orang-orang yang masih jauh
dari nilai-nilai keIslaman), Akan tetapi, lewat dakwah ini, mampu memotivasi
saudara-saudara muslim lain yang menemani kita di jalan dakwah.
Dakwah lewat
hikmah, adalah yang paling berpeluang menembus hati objek dakwah. Berdakwah
dengan hikmah, berarti harus siap menyuguhkan sisi lemah lembut dari agama
Islam. Hal yang mampu membuat seseorang jatuh cinta pada agama ini. Saya biasa
menghubungkan dakwah hikmah, dengan dakwah tadwin. Karena hikmah itu perlu
disampaikan lewat cara yang kreatif dan tersebar ke segala lapisan. Apalagi,
sekarang zamannya media. Anggap saja, objek dakwah kita adalah robot-robot yang
separuh hidupnya ada di dunia maya.
Dakwah tadwin saya ter-cover lewat
pengabdian diri sebagai tim media centre di Forum Studi Islam Khidmatul Ummah
FBS UNJ. Kontribusi yang saya berikan dalam bentuk pembuatan buletin Lebah-KU,
desain kreatif dengan aplikasi photoshop, serta pembuatan video pendek
inspiratif-Islami dengan brand TV-KU (Televisi Khidmatul Ummah). Banyaknya
jumlah pengguna media sosial twitter, facebook, line, dan sebagainya membuat
saya tergerak untuk terus menulis, dan memposting status bernilai dakwah. Imam
Syafi’i pernah mengatakan; jika tidak ada orang berilmu yang mau berjuang
dengan penanya, maka orang-orang zindiq akan menari-nari di atas mimbar.
Satu
lagi yang mendukung gerakan dakwah adalah prestasi. Menjadikan prestasi sebagai
kendaraan untuk berdakwah. Dalam hal ini, lahan perjuangan dalam dakwah yang
paling minimal adalah dengan menstabilkan indeks prestasi di atas tiga koma.
Dan sebisa mungkin, mampu menjadi mahasiswa berprestasi, minimal di jurusan
sendiri, agar nantinya mampu menginspirasi banyak orang, dan menjadi figur yang
patut diteladani. Bagi saya, di ranah kampus, dakwah prestasi adalah jalur yang
paling efektif untuk berdakwah. Sebab, di sini merupakan kumpulan orang- orang
yang mau berpikir, dan keunggulan seseorang dinilai dari catatan prestasinya
sepanjang hidup. Cara yang saya lakukan untuk dakwah prestasi adalah dengan
mengikuti beragam jenis lomba (terutama lomba menulis), serta berusaha
menjangkau IPK di atas 3,75.
Selanjutnya dakwah sosial. Bagi saya, dakwah ini
yang paling terasa berat. Sebab, kepekaan sosial kita benar-benar harus diuji.
Seberapa cintanya diri ini pada umat. Apakah mampu untuk tidak nyenyak tidur
karena memikirkan penderitaan rakyat kecil di negeri ini. Hal yang bisa saya
lakukan hanya sebatas turun ke jalan, ikut aksi bersama tim pergerakan kampus.
Meneriakkan ketidakadilan, dan kesengsaraan rakyat. Selain itu, dakwah bil hal
saya secara langsung masih sebatas keresahan batin. Tiap kali pulang malam dari
kampus, saya sering menyaksikan kengerian hidup anak jalanan di perempatan
Slipi Petamburan. Pernah suatu ketika, ada seorang anak jalanan yang hendak
mengamen di angkot yang saya tumpangi. Ia berteriak memanggil adiknya yang ketinggalan
naik. Sang adik berlari, namun kecepatan relatif angkot telah mengalahkan
langkah kecilnya. Sang kakak kesal, dan turun dengan cekatan di saat angkot
masih melaju. Anak kecil itu raib dari pandangan saya, tergantikan oleh
petak-petak cahaya yang menyoroti bagian belakang mobil. Dakwah saya..,
tertahan hanya sampai batin. Atau jangan-jangan.. itu bukan bagian dari dakwah.
Berikutnya, dakwah personal. Ini adalah dakwah favorit saya. Karena lebih
terasa dari hati ke hatinya. Hasil yang didapat variatif. Kadang, membuat hati
ini terharu, ketika melihat objek dakwah berubah menjadi lebih baik. Lebih
tekun ibadahnya. Kadang, putus asa karena sulitnya menyematkan celupan Islam ke
hati objek dakwah. Tidak jarang, saya menarik diri dari kehidupan personal, demi
berjuang mengenalkan orang lain akan keindahan Islam yang belum sepenuhnya
mereka rasakan. Semua bentuk dakwah yang saya jalani, tentu tidak terlepas dari
orang-orang yang membersamai. Para saudara di jalan Allah. Jujur, jika liburan
datang, bagian tersulit dari menikmati liburan itu adalah rasa rindu ingin
berkumpul bersama mereka.
Para lokomotor dakwah di Fakultas Bahasa dan Seni
UNJ. Seorang sahabat pernah membuatkan kami poster yang berisi tulisan; you
never walk alone on DAKWAH. Saya tempel poster itu di lemari, dan memandangnya
setiap kali rasa lelah menghampiri. Itulah, cara menyingkirkan rasa penat yang
paling sederhana. Selain dari mendengar lagu bingkai kehidupan, atau mars
pemuda Islam. Satu hal penting yang tidak boleh saya tinggalkan sebagai pengemban
dakwah adalah; belajar shirah (sejarah). Bagi saya, shirah merupakan kaca spion
kita dalam berdakwah. Melirik sepintas ke belakang (flashback), untuk
mengetahui strategi apa yang pas untuk dilancarkan. Memodernisasi shirah,
menerjemahkannya dan menyesuaikannya dengan zaman. Sederhananya seperti ini,
jika ada suatu persoalan, kita perlu melirik referensi shirah yang berkaitan
dengan masalah tersebut, lalu diaplikasi dengan sedikit modifikasi agar sesuai
dengan zaman saat ini. Misalkan, saya belajar tentang pentingnya berdakwah ke
orang-orang penting/para pemegang kekuasaan, atau istilah gaulnya the MVP (the
Most Valuable Person), dari kisah turunnya surat ‘Abasa. Perihal kedatangan
Abdulllah Ibn Ummi Maktum ketika Rasulullah sedang berdakwah ke para pembesar
Quraisy. Begitupun, dengan adanya sisipan dakwah yang strategis saat kita
melantunkan Al-Qur’an dengan suara merdu. Ingat kembali, ketika dulu Umar bin
Khattab terketuk untuk masuk Islam karena ayat-ayat Al-Qur’an berhasil
menelusup masuk ke hatinya. Semua itu penting untuk sama-sama kita pelajari.
Belum lengkap rasanya, jika seorang pendakwah belum pernah membaca habis buku
shirah nabawiyah.
Kembali ke istilah totalitas dakwah. Entah mengapa, saya suka
sekali dengan frase ini. Seolah, setiap detik dalam hidup adalah dakwah.
Belajar di kelas, berorganisasi, bahkan sampai makan di kantin... ada sisipan
dakwah yang kita pikirkan. Istilah sosialnya; memikirkan umat. Dan siapapun
yang sedang memikirkan umat, tentu bukan simpul senyum yang tampil di wajahnya,
melainkan lipatan di kening, yang menandakan betapa tugas kita belum selesai.
Mungkin tidak berlebihan jika saya katakan, bahwa dakwah ini dibangun dari air
mata, peluh, dan tubuh yang remuk kelelahan. Menyisakan lingkar mata yang hitam
menandakan jam tidur yang tidak sesuai kehendak tubuh.
Dakwah ini yang
merenggut segalanya yang saya dan rekan-rekan saya miliki. Tapi bukan jalan
dakwah namanya, kalau tidak ada keikhlasan untuk merelakan segalanya itu.
Bukankah tujuan hidup kita adalah Allah? Bosan? Lelah? Mengeluh? Ingin lari,
dan futur? Seringkali saya rasakan. Tapi lekas- lekas saya teringat dengan
tulisan KH. Rahmat Abdullah, bahwa kita mesti terus bergerak sampai kelelahan
lelah mengikuti kita. Terus bertahan, sampai kefuturan futur menyertai kita.
Lalu, bersamaan dengan itu saya ingat- ingat kembali mengapa dulu memilih jalan
ini? Ada satu hal yang biasa saya keluhkan di jalan dakwah, yaitu; mengapa
Allah menghidupkan saya di zaman ini?. Zamannya para pemimpin dzalim. Zaman
yang di dalamnya fitnah bertebaran. Menjadi pendakwah, berarti harus siap
diolok-olok sebagai teroris, Islam fanatik, dan sebangsanya. Tidak jarang, saya
mencukur bulu dagu untuk menyamarkan diri, agar terlihat lebih netral.
Barangkali tiga puluh tahun yang akan datang, kita mesti membuat tato (tidak
permanen) demi menembus pergaulan objek dakwah.
Dakwah sekarang berhadapan
dengan perang pemikiran. Perang yang tidak jelas siapa pemenang dan
pecundangnya? Yang jelas, selagi para kaum zindiq bebas menebar kesesatan,
berarti mereka tengah berada selevel di atas kita. Lalu, kapan semua ini
berakhir? Kapan para pendakwah menemukan muara perjuangannya? Tanya saya di
sela-sela kefuturan yang mengigit. Dan saya jawab sendiri pertanyaan retoris
itu. Akhir dari sebuah perjalanan dakwah bukan ketika turunnya surat Al-Maidah
ayat 3. Akhir dari sebuah perjalanan dakwah bukan ketika Muhammad Al Fatih
berhasil menaklukan konstantinopel. Bukan pula ketika fathuh Makkah. Ataupun
ketika Islam berhasil menjadi agama terbesar kedua di Amerika. Akhir dari
sebuah perjalanan dakwah adalah kemenangan ISLAM, atau mati sebagai syuhada.
Mati ketika hati masih bertaut pada kesetiaan akan dakwah. Maka begitulah, saya
dan para pejuang sejati, tidak akan berhenti di jalan ini sebelum semuanya
berakhir. Sebelum panji-panji itu berkibar, atau selongsong peluru menembus ke
dalam daging.
“Demi Allah, andai saja mereka bisa meletakkan matahari di tangan
kananku, dan bulan di tangan kiriku, (lalu mereka minta) agar aku meninggalkan
urusan (agama) ini, maka demi Allah, sampai urusan (agama) itu dimenangkan oleh
Allah, atau aku binasa di jalannya, aku tetap tidak akan meinggalkannya.” (HR.
Ibn Hisyam)
-Heri Samtani-