Selasa, 27 Januari 2015

Bagaimana Hukum Berjabat Tangan Setelah Sholat?


Pada dasarnya bersalaman setelah shalat wajib tidak disyariatkan (ghairu masyru’); tidak akan kita temukan tentang hal itu dalam Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’, baik dalam bentuk kata perintah wajib atau mustahab (sunah).

Sedangkan, wajib dan sunah adalah perkara yang mesti berasal dari pembuat syariat bukan hawa nafsu manusia yang menyangka baik sebuah perbuatan.

Di sisi lain, bersalaman adalah perbuatan yang secara mutlak memang dianjurkan dilakukan sesama muslim, dengan tanpa terikat oleh waktu, tempat, dan peristiwa tertentu. Kita dapat melakukannya ketika pagi, siang, sore, dan malam, ketika berdiri, duduk, dan berbaring, ketika diam atau berjalan, mukim atau musafir, bertemu dan berpisah, di majelis dan di luar majelis, atau kapan pun, termasuk juga setelah shalat, sebab hal itu termasuk lingkup kemutlakannya.

Namun, masalah mulai timbul ketika bersalaman setelah shalat telah menjelma menjadi adat dan tradisi baru secara khusus, yang jika ditinggalkan oleh pelakunya, mereka merasa ada sesuatu yang hilang, atau tidak nyaman, dan mereka baru tentram dihati ketika bersalaman itu mereka lakukan kembali. Seakan bersalaman adalah ibadah yang terkait dengan shalat itu sendiri.

Ini benar-benar telah terjadi di sebagian fenomena masyarakat Islam. Manakala ada manusia yang tidak mengikuti tradisi ini serta merta orang tersebut dituduh dengan berbagai tuduhan yang jelek. Pada titik ini, bersalaman setelah shalat telah menjadi wujud baru dalam ritual Islam yang tidak ada dasarnya. Oleh karena itu, masalah ini sangat bersifat kasuistis dan kondisional, tidak dibenarkan secara mutlak dan tidak disalahkan secara mutlak pula. Sebab, memang ada orang yang bersalaman setelah shalat telah menjadi tradisi baginya, setelah dia mengucapkan salam langsung sibuk memutar badan kanan kiri dan belakang untuk bersalaman, dan itu dilakukan lagi pada kesempatan shalat lainnya, sehingga ada jamaah merasa terganggu. Ada pula yang bersalaman karena memang dia baru berjumpa dengan sahabat di kanan kirinya, yang baru ada kesempatan bersalaman setelah shalat. Ada juga yang bersalaman setelah shalat karena dia diajak untuk bersalaman, dia bukan inisiatornya, dan itu pun bukan kebiasaannya, yang jika dia tolak akan melukai hati saudaranya. Nah, semua ini tentu tidak bisa dinilai secara sama.

Dalil-Dalil Umum Bersalaman

Dari Bara bin ‘Azib Radhialllahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مامن مسلمين يلتقيان، فيتصافحان، إلا غفر لهما، قبل أن يتفرقا

“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud No. 5212, At Tirmidzi No. 2727, Ibnu Majah No. 3703, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya, Al Misykah Al Mashabih No. 4679, Shahihul Jami’ No. 5777, dan lainnya)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

Kami bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah kami mesti membungkuk satu sama lain?” Beliau menjawab; “Tidak.” Kami bertanya: “Apakah saling berpelukan?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi hendaknya saling bersalaman.” (HR. Ibnu Majah No. 3702, Abu Ya’ala No. 4287. Hadits ini dihasankan Syakh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3702)

Dari Anas pula:

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا ، وإذا قدموا من سفر تعانقوا

“Adalah sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa mereka saling bersalaman, jika mereka datang dari bepergian, mereka saling berpelukan.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 97. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2719. Imam Al Haitsami mengatakan: rijalnya (para perawinya) rijal hadits shahih. Lihat Majma’ Az Zawaid, 8/36)

Dari Ka’ab bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

دخلت المسجد، فإذا برسول الله صلى الله عليه وسلم، فقام إلي طلحة بن عبيد الله يهرول حتى صافحني وهنأني.

Saya masuk ke masjid, ketika bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datanglah menghampiri saya Thalhah bin ‘Ubaidillah tergesa-gesa sampai dia menjabat tangan saya dan mengucapkan selamat kepada saya. (HR. Bukhari No. 4156, Abu Daud No. 2773, Ahmad No. 15789)

Berkata Qatadah Radhiallahu ‘Anhu:

قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: نعم.

Aku berkata kepada Anas: apakah bersalaman di lakukan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Dia menjawab: “Ya.” (HR. Bukhari No. 5908)

Dan masih banyak lainnya.

Berbagai riwayat dan atsar di atas menunjukkan masyru’-nya bersalaman bagi sesama muslim yakni pria dengan pria, atau wanita dengan wanita. Dan, hal ini mutlak kapan saja. Para ulama yang menyunnahkan dan membolehkan berjabat tangan setelah shalat berdalil dengan riwayat-riwayat ini, bagi mereka berbagai riwayat ini tidak membatasi hanya saat pertemuan. Sedangkan, dalil ‘aam (umum) dan muthlaq (tidak terikat) adalah menjadi dalil kuat yang mesti dipakai selama belum ada dalil khash (spesifik) dan muqayyad (mengikat) yang mengalihkan kemutlakannya. Nah, dalam bersalaman ini dalil-dalil bersifat ‘aam di atas tetaplah dapat dijadikan dalil untuk bersalaman kapan saja, karena memang tidak ada dalil khusus yang mengalihkannya.

Sedangkan bagi pihak yang memakruhkan bahkan membid’ahkannya, mereka menilai bahwa yang terjadi adalah bersalaman setelah shalat menjadi kebiasaan tersendiri di masyarakat yang mereka sandarkan kepada agama dan ibadah, dan fakta inilah yang sesungguhnya terjadi, oleh karena itu dibutuhkan dalil secara khusus untuk mengukuhkannya, jika tidak ada, maka itu tertolak (baca: bid’ah).

Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya, masalah ini tidak bisa digebyah uyah begitu saja karena sifatnya yang sangat personal dan kasuistis. Oleh karena itu, mesti dilihat menurut rincian sebagai berikut:

- Jika melakukannya karena si pelaku menganggap bersalaman adalah bagian dari shalat, maka tidak syak lagi, ini adalah bid’ah dhalalah, karena dia telah memasukkan dalam ritual peribadatan yang bukan bagian darinya, walau pun ini hanya dilakukan sekali.

- Jika melakukannya tidak dianggap bagian dari shalat, tapi dilakukan berulang-ulang dan menjadi adat tersendiri sehingga dipandang memiliki keutamaan tersendiri pula, yang jika ditinggalkan mereka merasa bersalah, maka ini pun bisa berpotensi menjadi bid’ah dalam ibadah. Sebaiknya ditinggalkan, sebab jika amaliah yang benar-benar sunah saja nabi tidak terus menerus melakukan karena khawatir dianggap wajib, apalagi perbuatan yang masih debatable para ulama. Sungguh, keluar dari khilafiah adalah lebih baik.

- Jika melakukannya dalam kondisi dia baru berjumpa dengan saudaranya, maka itu tidak mengapa, bahkan bagus walau pun berasal dari inisiatifnya sendiri, dan termasuk aplikasi hadits Bara bin ‘Azib: Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua selama sebelum berpisah

- Jika melakukannya bukan inisiatifnya, tetapi dia dalam keadaan berjamaah shalat bersama kaum yang biasa melakukannya dan mereka mengajaknya bersalaman, lalu dia sulit menghindar dan dapat melukai perasaan saudaranya itu jika dia menghindar, maka tidak mengapa dia bersalaman. Hal ini, demi menjaga perasaan sesama muslim, menyatukan hati, dan menghindari kebencian satu sama lain. Dengan demikian dia menjalankan mudharat demi menghindari mudharat yang lebih besar dan berkepanjangan. Sikap ini merupakan ‘ibrah dari sikap elegan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu yang membid’ahkan qunut subuh tetapi beliau tetap ikut berqunut jika imam melakukannya, demi menjaga kesatuan hati, kesamaan kata, dan menghilangkan permusuhan. Fa’tabiruu ..!


Dan, rincian inilah yang menjadi pegangan kami dalam memandang permasalah ini. Wallahu A’lam - See more at: http://www.faridnuman.com/2014/12/bersalaman-berjabat-tangan-setelah.html?m=0#sthash.iehb345Z.dpufada dasarnya bersalaman setelah shalat wajib tidak disyariatkan (ghairu masyru’); tidak akan kita temukan tentang hal itu dalam Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’, baik dalam bentuk kata perintah wajib atau mustahab (sunah).

Sedangkan, wajib dan sunah adalah perkara yang mesti berasal dari pembuat syariat bukan hawa nafsu manusia yang menyangka baik sebuah perbuatan.

Di sisi lain, bersalaman adalah perbuatan yang secara mutlak memang dianjurkan dilakukan sesama muslim, dengan tanpa terikat oleh waktu, tempat, dan peristiwa tertentu. Kita dapat melakukannya ketika pagi, siang, sore, dan malam, ketika berdiri, duduk, dan berbaring, ketika diam atau berjalan, mukim atau musafir, bertemu dan berpisah, di majelis dan di luar majelis, atau kapan pun, termasuk juga setelah shalat, sebab hal itu termasuk lingkup kemutlakannya.

Namun, masalah mulai timbul ketika bersalaman setelah shalat telah menjelma menjadi adat dan tradisi baru secara khusus, yang jika ditinggalkan oleh pelakunya, mereka merasa ada sesuatu yang hilang, atau tidak nyaman, dan mereka baru tentram dihati ketika bersalaman itu mereka lakukan kembali. Seakan bersalaman adalah ibadah yang terkait dengan shalat itu sendiri.

Ini benar-benar telah terjadi di sebagian fenomena masyarakat Islam. Manakala ada manusia yang tidak mengikuti tradisi ini serta merta orang tersebut dituduh dengan berbagai tuduhan yang jelek. Pada titik ini, bersalaman setelah shalat telah menjadi wujud baru dalam ritual Islam yang tidak ada dasarnya. Oleh karena itu, masalah ini sangat bersifat kasuistis dan kondisional, tidak dibenarkan secara mutlak dan tidak disalahkan secara mutlak pula. Sebab, memang ada orang yang bersalaman setelah shalat telah menjadi tradisi baginya, setelah dia mengucapkan salam langsung sibuk memutar badan kanan kiri dan belakang untuk bersalaman, dan itu dilakukan lagi pada kesempatan shalat lainnya, sehingga ada jamaah merasa terganggu. Ada pula yang bersalaman karena memang dia baru berjumpa dengan sahabat di kanan kirinya, yang baru ada kesempatan bersalaman setelah shalat. Ada juga yang bersalaman setelah shalat karena dia diajak untuk bersalaman, dia bukan inisiatornya, dan itu pun bukan kebiasaannya, yang jika dia tolak akan melukai hati saudaranya. Nah, semua ini tentu tidak bisa dinilai secara sama.

Dalil-Dalil Umum Bersalaman

Dari Bara bin ‘Azib Radhialllahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مامن مسلمين يلتقيان، فيتصافحان، إلا غفر لهما، قبل أن يتفرقا

“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud No. 5212, At Tirmidzi No. 2727, Ibnu Majah No. 3703, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya, Al Misykah Al Mashabih No. 4679, Shahihul Jami’ No. 5777, dan lainnya)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

Kami bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah kami mesti membungkuk satu sama lain?” Beliau menjawab; “Tidak.” Kami bertanya: “Apakah saling berpelukan?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi hendaknya saling bersalaman.” (HR. Ibnu Majah No. 3702, Abu Ya’ala No. 4287. Hadits ini dihasankan Syakh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3702)

Dari Anas pula:

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا ، وإذا قدموا من سفر تعانقوا

“Adalah sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa mereka saling bersalaman, jika mereka datang dari bepergian, mereka saling berpelukan.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 97. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2719. Imam Al Haitsami mengatakan: rijalnya (para perawinya) rijal hadits shahih. Lihat Majma’ Az Zawaid, 8/36)

Dari Ka’ab bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

دخلت المسجد، فإذا برسول الله صلى الله عليه وسلم، فقام إلي طلحة بن عبيد الله يهرول حتى صافحني وهنأني.

Saya masuk ke masjid, ketika bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datanglah menghampiri saya Thalhah bin ‘Ubaidillah tergesa-gesa sampai dia menjabat tangan saya dan mengucapkan selamat kepada saya. (HR. Bukhari No. 4156, Abu Daud No. 2773, Ahmad No. 15789)

Berkata Qatadah Radhiallahu ‘Anhu:

قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: نعم.

Aku berkata kepada Anas: apakah bersalaman di lakukan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Dia menjawab: “Ya.” (HR. Bukhari No. 5908)

Dan masih banyak lainnya.

Berbagai riwayat dan atsar di atas menunjukkan masyru’-nya bersalaman bagi sesama muslim yakni pria dengan pria, atau wanita dengan wanita. Dan, hal ini mutlak kapan saja. Para ulama yang menyunnahkan dan membolehkan berjabat tangan setelah shalat berdalil dengan riwayat-riwayat ini, bagi mereka berbagai riwayat ini tidak membatasi hanya saat pertemuan. Sedangkan, dalil ‘aam (umum) dan muthlaq (tidak terikat) adalah menjadi dalil kuat yang mesti dipakai selama belum ada dalil khash (spesifik) dan muqayyad (mengikat) yang mengalihkan kemutlakannya. Nah, dalam bersalaman ini dalil-dalil bersifat ‘aam di atas tetaplah dapat dijadikan dalil untuk bersalaman kapan saja, karena memang tidak ada dalil khusus yang mengalihkannya.

Sedangkan bagi pihak yang memakruhkan bahkan membid’ahkannya, mereka menilai bahwa yang terjadi adalah bersalaman setelah shalat menjadi kebiasaan tersendiri di masyarakat yang mereka sandarkan kepada agama dan ibadah, dan fakta inilah yang sesungguhnya terjadi, oleh karena itu dibutuhkan dalil secara khusus untuk mengukuhkannya, jika tidak ada, maka itu tertolak (baca: bid’ah).

Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya, masalah ini tidak bisa digebyah uyah begitu saja karena sifatnya yang sangat personal dan kasuistis. Oleh karena itu, mesti dilihat menurut rincian sebagai berikut:

- Jika melakukannya karena si pelaku menganggap bersalaman adalah bagian dari shalat, maka tidak syak lagi, ini adalah bid’ah dhalalah, karena dia telah memasukkan dalam ritual peribadatan yang bukan bagian darinya, walau pun ini hanya dilakukan sekali.

- Jika melakukannya tidak dianggap bagian dari shalat, tapi dilakukan berulang-ulang dan menjadi adat tersendiri sehingga dipandang memiliki keutamaan tersendiri pula, yang jika ditinggalkan mereka merasa bersalah, maka ini pun bisa berpotensi menjadi bid’ah dalam ibadah. Sebaiknya ditinggalkan, sebab jika amaliah yang benar-benar sunah saja nabi tidak terus menerus melakukan karena khawatir dianggap wajib, apalagi perbuatan yang masih debatable para ulama. Sungguh, keluar dari khilafiah adalah lebih baik.

- Jika melakukannya dalam kondisi dia baru berjumpa dengan saudaranya, maka itu tidak mengapa, bahkan bagus walau pun berasal dari inisiatifnya sendiri, dan termasuk aplikasi hadits Bara bin ‘Azib: Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua selama sebelum berpisah

- Jika melakukannya bukan inisiatifnya, tetapi dia dalam keadaan berjamaah shalat bersama kaum yang biasa melakukannya dan mereka mengajaknya bersalaman, lalu dia sulit menghindar dan dapat melukai perasaan saudaranya itu jika dia menghindar, maka tidak mengapa dia bersalaman. Hal ini, demi menjaga perasaan sesama muslim, menyatukan hati, dan menghindari kebencian satu sama lain. Dengan demikian dia menjalankan mudharat demi menghindari mudharat yang lebih besar dan berkepanjangan. Sikap ini merupakan ‘ibrah dari sikap elegan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu yang membid’ahkan qunut subuh tetapi beliau tetap ikut berqunut jika imam melakukannya, demi menjaga kesatuan hati, kesamaan kata, dan menghilangkan permusuhan. Fa’tabiruu ..!


Dan, rincian inilah yang menjadi pegangan kami dalam memandang permasalah ini. Wallahu A’lam



 - See more at: http://www.faridnuman.com/2014/12/bersalaman-berjabat-tangan-setelah.html?m=0#sthash.iehb345Z.dpuf

0 komentar:

Posting Komentar