FSI-KU Gallery

FSI-KU punya banyak kegiatan di FBS. Yuk intip kegiatan apa saja yang sudah dilaksanakan FSI-KU mewarnai Fakultas Bahasa dan Seni :)

#GerakanAyoMentoring

#GerakanAyoMentoring yang digalakkan oleh Dept.LCIA di FBS menuai hasil yang Subhanallah. FBS sudah ikut mentoring, bagaimana dengan kamu? Mentoring: Mencerdaskan dan Mensolehkan :)

Pengurus FSI-KU

Bismillah, Assalamulaikum teman-teman sekalian. Mau kenal siapa-siapa saja yang ada didalam kepengurusan FSI-KU FBS UNJ di masa Amanah 2013? yuk taarufan!

Budaya Muslim FBS

Sebagai Kampus Pendidikan, FBS UNJ juga harus punya Budaya Muslim. Yuk kenali apa saja Budaya Muslim di FBS dan jangan lupa dipraktekan ya bro!

Nasyid FSI-KU

FSI-KU punya Nasyid loh! Namanya Nasyid Amoeba. Yuk kenalan siapa saja sih kakak-kakak bersuara merdu ini!

Minggu, 06 Desember 2015

Jilbab Putih Safira


karya : Heri ST

Pagi itu udara berhembus dingin. Bekas hujan telah meninggalkan basah dan licin di sepanjang jalan. Air-air yang tergenang dan menetes di tepian genting. Serta tanah yang becek berlumut. Safira tiba di sekolah lima menit sebelum bel berbunyi. Bukan pada gerbang sekolah, ia menghadapkan tubuhnya, tapi pada dinding besar, yang serupa benteng pemisah kehidupan liar dengan tatanan sistem akademik yang akhir-akhir ini menjerat kebebasan rohani Safira. Bukan pendidikan yang ia benci, melainkan aturan politik yang merangsek masuk dan menebas kebebasannya berhubungan dengan sang Khalik.
Safira berpikir sejenak, sebelum memanjat tembok besar di hadapannya. Pertama, ia takut dengan tembok licin berlumut, yang lebih tinggi dua kali lipat dari tinggi badannya. Kedua, ia bimbang, perlu menanggalkan jilbab atau tidak, seperti hari-hari kemarin. Safira menggigit ujung jemari telunjuknya, seolah membuka bungkus jawaban di balik bagian tubuh itu. Sekejap kemudian, ia sudah memanjat. Jilbab putihnya ia sangkutkan di bahu tembok. Susah payah tangannya mencengkeram tembok yang dingin, basah, dan berlumut. Satu menit kemudian, ia sudah berada di taman sekolah yang dipagari pohon rambutan. Suatu saat, pohon itu pasti akan ditebang, karena dianggap melindungi siswi berkerudung yang melanggar aturan sekolah pemerintah.
Di balik pohon rambutan itulah, Safira nekat mengenakan jilbabnya kembali. Ia berjalan cepat menuju kelas. Setengah berlari. Matanya berkeliling. Takut diketahui Kepala Sekolah, kalau dia dalam keadaan berjilbab. Beberapa murid menatapnya sinis. Tapi ia tak peduli. Sebab, Allah menyayangi orang-orang yang bertakwa. Begitu kata Latifah, teman sekelasnya yang sejak SD sudah berjilbab rapi.
“Safira...!” teriak Latifah sumringah. “Mantaap!” Gadis itu mengangkat dua jempol. Safira ngos-ngosan.
“Huuh.. untung gak ketahuan.._Eh, lenganmu kenapa?” Ucap Safira sambil memegang lengan Latifah yang terluka.
“Tadi kegores, waktu manjat tembok..”
“Astagaaa..” Safira menutup mulutnya dengan jemari.
“Aah.. cuma luka begini kok..!”
“Ya.. begini juga kan luka.” Latifah tersenyum manis. “Apa yang bakal terjadi selanjutnya yaa??” Tanya Safira kemudian.
“Udaah.. tenang ajah. Allah bersama kita.” Safira memperhatikan wajah teduh Latifah. Gadis itu memberinya kekuatan. Tapi kemudian kekuatan itu melemah, begitu melihat Nurul, Dhian, dan Mawar telah menanggalkan jilbabnya. Ini pertama kalinya Safira melihat rambut Nurul yang ternyata sangat rapi dan halus. Ia pikir, Nurul adalah akhwat tulen, tapi hari ini keteguhan gadis itu runtuh. Ketakutan pada Kepala Sekolah ataupun rezim militer telah
mengalahkan ketakutannya pada Allah. Safira kecewa kepada gadis itu,_semoga hanya untuk hari ini.
Kemarin, Kepala Sekolah mendatangi kelas-kelas dan mengancam bahwa siapa saja yang masih berani berjilbab, akan dikeluarkan dari sekolah ini. Dan silakan beralih ke sekolah Muhammadiyah. Maka, orang tua para murid gelagapan. Sekolah-sekolah Islam kalah pamor dengan sekolah negeri. Dan biayanya lebih mahal. Safira dan Latifah sepakat, tidak memberitahu orang tuanya terkait ancaman ini. Mereka memilih berlindung dalam naungan Allah. Sebab, rezim otoriter yang dzalim, jauh berada di bawah kendali Allah. Ini hanyalah sebuah ujian keimanan atas tiap-tiap orang yang akan naik tingkat sebagai generasi muttaqin.
“Semua akan baik-baik saja..” kata Latifah sehari yang lalu. Nurul, Mawar, Dhian, dan Safira mendengarkan nasihat muslimah tangguh itu. “Pak Sasongko, pak Nazar, bu Arini.. bahkan pak Harto.. mereka semua makhluk Allah juga kan? Hidup dalam genggaman Allah. Sekeras apapun dan sekejam apapun mereka mengusik jilbab kita, mereka takkan bisa mengusik kuasa Allah..”
Safira menelan ludah. Mawar berkaca-kaca. Nurul menitikkan air mata. Dhian memperhatikan wajah mereka bergantian. Setelah itu sunyi. Bu Arini telah berdiri di depan pintu. Tatapannya sinis, menembus kaca mata yang bening. Guru yang cantik itu tak pernah lepas dari kebenciannya pada aturan syar’i.
“Masih mau berjilbab?” ucapnya begitu kami tiba di luar kelas. “Silakan angkat kaki dari sekolah ini, seperti yang dilakukan bu Azizah.”
Safira melihat jaring laba-laba di liang mata bu Arini. Rasanya ingin ia singkirkan mata sinis itu.
***
“Setelah ini mata pelajaran Pak Nazar,” bisik Safira sambil melongok koridor dari kaca jendel. Latifah terdiam. Jemarinya bergetar. Ia tahu, keadaan ini takkan bisa bertahan. Abinya berkali-kali berucap; “siapa yang berkuasa, maka ia punya kendali untuk mengubah, merusak, dan melibas hak-hak warga negara. Maka, orang baik harus bersusah payah menjadi pemimpin, jangan biarkan kedzaliman yang memimpin kita.”
“Berharap saja Pak Nazar sudah bertaubat, tidak lagi membenci agamanya sendiri.”
“Duuh.. sebentar lagi Pak Sasongko pasti keliling kelas. Razia.. gimana ini, Fah??” Safira gemetar. Keningnya berkeringat. Wajahnya memucat. Ia panik, membayangkan amarah di wajah Pak Sasongko yang berhati marmer.
Safira dan Latifah duduk kembali. Segenap mata menangkap wajahnya yang bimbang. Dua perempuan itu mencoba khusyuk membaca Al-Qur;an. Meski jantung mereka berlompatan. Dalam hening itulah, seseorang berteriak.
“Pak Kepsek razia jilbab! Sekarang sudah sampai kelas 12 IPA 2!” Safira dan Latifah saling menatap. Ada cahaya surgawi di balik bongkahan mata mereka, bertubrukan dengan rasa takut yang menikam. Tiga puluh dua pasang mata menangkap paras mereka. Latifah masih membaca Qur’an, berputar di surat An-Nur ayat 31. Ia pastikan, bahwa aturan dari rezim dzalim takkan mampu menaklukan keteguhan imannya. Ia pastikan, bahwa sang pencipta membisikkan perintah-Nya dalam An-Nur ayat 31. Ia pahami betul, bahwa jilbab bukan bagian dari fundamentalisme ataupun radikalisme. Ia yakin, bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar dan setia menggenggam keimanan, meski bara panas mengalir di telapak kakinya. “Cukuplah Allah bagiku, dan Ia adalah sebaik-baik penolong,” bisik Latifah. Safira mengikuti,_tepat ketika Pak Sasongko sudah berada di muka pintu. Bedil tajam terasa berjatuhan menghunus batin dua gadis berjilbab itu.
“Cuma dua?!” suara itu bergelagar di kelas 12 IPA 3. Murid-murid mengangguk. “Baguss.. tidak perlu ada drama sembunyi-sembunyi. Ayoo! KELUAR! IKUTI SAYA!!” Perinta itu mengarah pada Latifah dan Safira. Safira langsung melonjak. Mukanya merah padam. Kesal, malu, takut, bercampur jadi satu dalam permukaan wajahnya yang masih berlapis jilbab. Sementara Latifah masih membatu, menatap lurus penuh amarah yang tertahan. Ia berusaha menancapkan aturan dalam dirinya, bahwa perintah dari manusia (apalagi manusia yang dzalim) tidak boleh terlalu cepat direspon. “CEPAAATT!” Kali ini Safira menarik-narik lengan Latifah. Perempuan itu tampak tenang, namun terlihat jelas, rasa kesal menyeringai batinnya.
Mereka berdua digiring seperti bebek. Bersama delapan belas perempuan berjilbab dari beragam kelas dan tingkatan. Beberapa dari mereka tetap tersenyum, tenang, gemetar seperti Safira, dan beberapa merekatkan bibir dan memicingkan mata, ingin melawan, seperti Latifah.
Para muslimah itu berdiri satu saf. Menghadap wajah-wajah keji milik Pak Sasongko, dan beberapa guru yang menjadi bagian dari rezimnya. Safira menundukkan wajah.
“Pilihannya sederhana..” kata Pak Sasongko setelah puas meneriakkan para siswi dengan istilah radikal dan ekstrimis. “Tanggalkan kerudung kalian!_atau, angkat kaki dari sekolah ini! Silakan cari sekolah lain yang mau menampung golongan ekstrimis seperti kalian.” Ahh.. kata-kata itu sungguh menusuk di batin Safira dan rekan-rekannya. Ia tak sanggup untuk mempertahankan air mata yang sejak tadi melapisi bola matanya. Sejenak ia menatap Latifah yang tampak tegar menatap ke depan. Ia melihat cahaya iman di balik mata bening gadis itu. Jemarinya bersilangan dengan jemari Farah, rekan dakwahnya.
Satu per satu murid merontokkan jilbabnya. Meletakkan sayap-sayap kemuliaan itu di meja. Rambut yang sebelumnya tersembunyi, menyembul menampakkan diri. Menghirup udara penat, terurai dilihat mata non-mahrom. Setiap helainya berteriak, merutuki kelemahan sang pemilik mahkota. Adakah surat An-Nur masih bercahaya di dada mereka? Adakah hukum Allah masih diletakkan di genggaman mereka? Atau, telah diinjak-injak oleh sepatu rezim otoriter, yang menghembuskan kembali nafsu jahiliah.
Setelah itu tak ada yang terdengar, kecuali isak, dan langkah kaki yang berhamburan keluar. Mereka yang memilih melepas jilbab, keluar dalam keadaan jemari membungkus langit kepala. Meski, semua itu takkan mengubah keadaan. Apalagi mengubah apa yang ditulis sang malaikat pencatat amal. Setelahnya pak Kepsek berujar lagi; “siapa berikutnya? Yang sudah sadar?”
Kini tinggal Farah, Latifah, Habibah, Safira, dan tujuh orang lagi yang masih teguh menggenggam janji. Mereka yang yakin, akan kuasa Allah, dan tauhid telah menancap dalam hati-hati mereka. Bagi para muslimah itu, tatapan sengit Pak Sasongko hanya sebatas ujung jarum, yang bisa diselesaikan dengan membalik ujungnya, mengarah pada lubang jarum yang tumpul.Jilbab itu masih merekat. Masih membentang sebagai kemuliaan. Sebagai identitas dan kepasrahan diri, mencintai Allah dan Rasul-Nya. Sebab mereka percaya, bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Bahkan, jika perjuangan jilbab ini menuntut nyawa mereka, mereka telah siap sebagai syuhada. Maka selamanya, yang hak, akan membungkam yang batil. Pak Sasongko bersama agen-agen yang memusuhi Islam angkat bendera putih. Latifah tersenyum puas. Meski ia harus siap meninggalkan sekolah ini. Matanya terpejam sesaat. Di benaknya melintas rasa syukur. Akhir dari perjalanan dakwahnya di sekolah ini, menghasilkan sosok Safira yang teguh membentangkan jilbab sampai ke dada. Sementara Safira, perlahan-lahan merebahkan jemarinya di bahu kanan, lalu menarik mahkota putihnya, sampai jarum pentul di mahkota itu jatuh ke lantai. Ia meletakkan kerudung putih, jarum pentul, dan air mata di meja, di hadapan Pak Sasongko. Semua itu ia lakukan, tepat ketika ia sadar,_bahwa selama ini
ia tak pernah tahu, alasan utamanya mengenakan jilbab.

***

Jakarta, 6 Desember 2015

gambar diunduh dari bindywithhubby.wordpress.com

*