FSI-KU Gallery

FSI-KU punya banyak kegiatan di FBS. Yuk intip kegiatan apa saja yang sudah dilaksanakan FSI-KU mewarnai Fakultas Bahasa dan Seni :)

#GerakanAyoMentoring

#GerakanAyoMentoring yang digalakkan oleh Dept.LCIA di FBS menuai hasil yang Subhanallah. FBS sudah ikut mentoring, bagaimana dengan kamu? Mentoring: Mencerdaskan dan Mensolehkan :)

Pengurus FSI-KU

Bismillah, Assalamulaikum teman-teman sekalian. Mau kenal siapa-siapa saja yang ada didalam kepengurusan FSI-KU FBS UNJ di masa Amanah 2013? yuk taarufan!

Budaya Muslim FBS

Sebagai Kampus Pendidikan, FBS UNJ juga harus punya Budaya Muslim. Yuk kenali apa saja Budaya Muslim di FBS dan jangan lupa dipraktekan ya bro!

Nasyid FSI-KU

FSI-KU punya Nasyid loh! Namanya Nasyid Amoeba. Yuk kenalan siapa saja sih kakak-kakak bersuara merdu ini!

Sabtu, 19 September 2015

Dakwah, Cinta, dan Kepasrahan

          Dakwah adalah cinta dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Begitu kata KH. Rahmat Abdullah dalam tulisannya seputar dakwah. Selayaknya cinta, diri ini berserah padanya. Perasaan itu akan menghinggapi setiap jengkal hidup seorang da’i. Segala yang ia miliki akan dikorbankan untuk dakwah, untuk umat. Segalanya. Tenaga, pikiran, waktu, uang, dan apapun yang ada di dalam dirinya. Bahkan, ketika dakwah menuntut nyawanya, ia mesti siap menjual barang satu-satunya itu, demi menolong agama Allah.

          Teringat ketika pertama kali membuka buku fiqih dakwah. Kutipan yang paling menancap dalam benak saya adalah tentang sekelompok tahanan Mesir yang dipenjara oleh rezim tiran. “Ya Naqib (pemimpin grup), bagaimana nasib kita bila mereka lemparkan kita ke sarang serigala lapar atau lubang busuk tanpa kehidupan?” Dengan mantap Musthafa Masyhur menjawab; “Mereka dapat membuang kita ke tempat manapun yang kita takuti, namun ketahuilah mereka takkan mampu membuang kita ke tempat yang tak ada Allah.”

           Lalu, apa yang sebenarnya membuat seseorang menyusuri jalan berkerikil tajam dan tak jelas ujungnya ini? Sementara, ada miliaran orang yang memilih jalan lain, bahkan menebar duri, atau terang-terangan membangun portal; memusuhi dakwah. Dan mengapa? Segolongan orang nekat mengabdikan diri untuk menebar kebaikan, dan membungkam keburukan? Sementara telah banyak kisah mengerikan yang menjadi catatan pilu para syuhada di jalan dakwah. Mengapa, pada akhirnya, jalan ini membuat kita sama-sama meyakini, bahwa Islam itu nyata. Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru pada kebaikan, menyuruh (berbuat) yang makhruf, dan mencegah dari yang mungkar.

          "Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-Imran: 104)."

          Dakwah, ibarat sebuah pesan darurat yang mesti diteruskan ke setiap penjuru. Minimal, ke orang-orang terdekat yang ada di daftar kontak kita. Tanpa dakwah, risalah Islam hanya akan menjadi dokumen pribadi yang tersimpan di berangkas Rasulullah, dan cinta yang termuat di dalamnya takkan pernah sampai menyentuh hati-hati manusia di muka bumi. Para pendakwah, adalah orang-orang yang menyampaikan pesan itu, memberitahu kabar baik, dan kabar buruk dengan sisipan hikmah di dalamnya. Sehingga, bersamaan dengan itu, ikut masuk cahaya surgawi yang menghangatkan jiwa. Eksistensi agama Islam, tidak lepas dari peranan dakwah. Jika di masa-masa awal risalah, agama ini hanya eksis di bumi Arab, kini merambah ke segala penjuru dunia, termasuk di bumi katulistiwa; Indonesia. Celupan Islam yang hari ini kita rasakan, adalah bagian dari akumulasi usaha yang dilakukan oleh para pendahulu, untuk terus menebar agama Islam ke belahan dunia lain. Melintasi benua, mengarungi samudra, dan menyebrang pulau-pulau yang terhampar. Sebagai orang yang beriman, tentu bukan hal yang benar jika kita menyimpan pengetahuan dan kebenaran itu sendiri. Tanpa ada rasa peduli terhadap orang-orang yang hari ini, belum mengenal Rabb-nya.

          Banyak orang yang berpendapat; tidak usah kita bersusah payah menggiring orang lain untuk mentauhidkan Allah secara utuh, biarkan saja dia menemukan hidayahnya sendiri. Bukankah, hati-hati mereka berada di bawah kuasa Allah? Pemikiran semacam ini perlu diluruskan.

Sejatinya, jalan menuju hidayah itu memang telah terpampang nyata di hadapan manusia. Akan tetapi, seringkali hati mereka ditutupi kesombongan dan lekas berpaling dari jalan yang benar. Maka, perlu ada orang-orang berjiwa mulia yang membersamai mereka di jalan menuju hidayah itu. Orang-orang yang dikatakan Salim A. Fillah sebagai orang-orang yang memetik cinta dari langit, lalu menebarkannya di bumi. 

Ya, cinta itu ada di langit, sementara umat berada di muka bumi. Butuh, perantara yang menghubungkan langit kepada bumi. Orang-orang yang di dalam hatinya, tersingkap cinta dari langit, lalu ia sematkan cinta itu ke hati manusia yang belum menemukan jalan lurus menuju cintanya Allah. Menyerahkan diri di jalan dakwah, berarti siap dengan segala konsekuensinya. Sebab dakwah memintamu untuk pasrah, meminta segalanya yang kau miliki, dan menghisap energimu. Dakwah bukan sekadar menyampaikan. Tapi menuntut hati yang tertawan oleh rasa cinta pada agama Allah, kemudian menghubungkan cinta itu dengan setiap langkah yang diambil. Dakwah akan efektif, jika hati kita senantiasa terpaut pada Allah SWT. Berusaha agar koneksi itu senantiasa terhubung. Agar, objek dakwah lebih menerima segala hal yang kita sampaikan.

Kesadaran itulah yang menjadikan dasar penting bagi saya ketika baru mengenal apa sebenarnya dakwah? Dan bagaimana, berdakwah di lingkungan pergaulan kampus? Lingkungan di mana segala macam pertentangan ideologi berkembang, bertubrukan, dan bersaing untuk menjadi yang paling banyak diikuti. Berada di lingkup kampus, membuat saya mengerti betapa pentingnya dakwah di ranah ini. Meskipun, saya baru mengenal dakwah di semester tiga akhir. Setelah sebelumnya, sibuk membenahi diri. Mereformasi keimanan, dan kurang begitu peduli dengan iman orang lain. Bagi saya, kampus merupakan tempat strategis untuk memproduksi kalangan intelektual dengan ragam bidang profesi, dan tentu saja, variasi ideologi. Sebab, di masa kuliah, mahasiswa dituntut untuk mengolah pikirannya, sehingga mampu bersaing dan menyampaikan argumen kritis. Tidak jarang, saking kritisnya, mahasiswa mulai kehilangan arah, dan lupa bahwa tidak selamanya segala hal bisa ditelusuri/dikritisi secara ekstrem. Sampai-sampai menanggalkan akidah demi bisa disebut sebagai mahasiswa kritis. 

Kita tahu, bahwa mahasiswa menjadi ujung tombak perubahan zaman. Sebab mereka yang akan meneruskan tongkat estafet peradaban. Hal yang bersifat futuristik, ada di genggaman mereka, dan semua bidang vital, akan menjadi lahan garapan mereka. Seperti ekonomi, sosial, politik, hukum, dan lainnya, akan berada di bawah kendali para intelektual di negeri ini, yang tentu saja, berakar dari institusi perguruan tinggi. Pada akhirnya, dakwah harus tumbuh di setiap sudut kampus, dan menghisap segala keburukan yang ada, serta memberi keteduhan jiwa bagi para generasi penerus bangsa. Agar, bisa menekan pertumbuhan generasi intelektual yang lemah dari segi spiritual quotient. Dan kampus, harus mampu memproduksi generasi intelektual yang rabbani, dan memiliki fikrah Islami yang kuat.

             Dalam surat Al-Alaq ayat 1 diterangkan; Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan Bukan sekadar membaca, tapi membacanya dengan menyebut nama Allah. Penting sekali, dalam hal ini, mahasiswa memadukan antara hasrat menuntut ilmu, dengan tetap berpegangteguh pada tali agama Allah, agar tidak tersesat dalam tipu daya ilmu duniawi, yang kadang menggiring kita ke jurang kesesatan, dan mendadak menjadi orang yang membenci agamanya sendiri. Bahkan, secara tanpa sadar, berpikiran liberal, dan menjurus ke arah yang lebih berbahaya lagi, yaitu; meragukan eksistensi Tuhan.

Ada banyak variasi dakwah yang bisa diaplikasikan dalam upaya meneruskan risalah. Seperti dakwah bil qudwah, dakwah bil hikmah, dakwah tadwin, dakwah ilmy, dakwah bil hal, dakwah fardhiyah, dan sebangsanya. Bagi saya, variasi dakwah itu bukanlah daftar menu yang mesti kita pilih dan kita sesuaikan dengan budget dan porsi energi yang kita miliki. Akan tetapi, semuanya harus dikombinasikan. Sehingga membentuk kekuatan luar biasa dalam suatu pergerakan dakwah. Inilah yang disebut dengan totalitas dakwah. Dakwah bil qudwah, bisa dibilang sebagai dakwah yang dilakukan secara otomatis. Dakwah yang dikemas dalam ibadah. Dengan hanya membaca al-qur’an di pojok mesjid kampus, sudah menjadi sarana dakwah yang efektif. Meskipun dakwah lewat keteladanan sikap memang bukan dakwah yang luas jangkauannya (cenderung sulit menembus hati orang-orang yang masih jauh dari nilai-nilai keIslaman), Akan tetapi, lewat dakwah ini, mampu memotivasi saudara-saudara muslim lain yang menemani kita di jalan dakwah. 

Dakwah lewat hikmah, adalah yang paling berpeluang menembus hati objek dakwah. Berdakwah dengan hikmah, berarti harus siap menyuguhkan sisi lemah lembut dari agama Islam. Hal yang mampu membuat seseorang jatuh cinta pada agama ini. Saya biasa menghubungkan dakwah hikmah, dengan dakwah tadwin. Karena hikmah itu perlu disampaikan lewat cara yang kreatif dan tersebar ke segala lapisan. Apalagi, sekarang zamannya media. Anggap saja, objek dakwah kita adalah robot-robot yang separuh hidupnya ada di dunia maya. 

Dakwah tadwin saya ter-cover lewat pengabdian diri sebagai tim media centre di Forum Studi Islam Khidmatul Ummah FBS UNJ. Kontribusi yang saya berikan dalam bentuk pembuatan buletin Lebah-KU, desain kreatif dengan aplikasi photoshop, serta pembuatan video pendek inspiratif-Islami dengan brand TV-KU (Televisi Khidmatul Ummah). Banyaknya jumlah pengguna media sosial twitter, facebook, line, dan sebagainya membuat saya tergerak untuk terus menulis, dan memposting status bernilai dakwah. Imam Syafi’i pernah mengatakan; jika tidak ada orang berilmu yang mau berjuang dengan penanya, maka orang-orang zindiq akan menari-nari di atas mimbar. 

Satu lagi yang mendukung gerakan dakwah adalah prestasi. Menjadikan prestasi sebagai kendaraan untuk berdakwah. Dalam hal ini, lahan perjuangan dalam dakwah yang paling minimal adalah dengan menstabilkan indeks prestasi di atas tiga koma. Dan sebisa mungkin, mampu menjadi mahasiswa berprestasi, minimal di jurusan sendiri, agar nantinya mampu menginspirasi banyak orang, dan menjadi figur yang patut diteladani. Bagi saya, di ranah kampus, dakwah prestasi adalah jalur yang paling efektif untuk berdakwah. Sebab, di sini merupakan kumpulan orang- orang yang mau berpikir, dan keunggulan seseorang dinilai dari catatan prestasinya sepanjang hidup. Cara yang saya lakukan untuk dakwah prestasi adalah dengan mengikuti beragam jenis lomba (terutama lomba menulis), serta berusaha menjangkau IPK di atas 3,75. 

Selanjutnya dakwah sosial. Bagi saya, dakwah ini yang paling terasa berat. Sebab, kepekaan sosial kita benar-benar harus diuji. Seberapa cintanya diri ini pada umat. Apakah mampu untuk tidak nyenyak tidur karena memikirkan penderitaan rakyat kecil di negeri ini. Hal yang bisa saya lakukan hanya sebatas turun ke jalan, ikut aksi bersama tim pergerakan kampus. Meneriakkan ketidakadilan, dan kesengsaraan rakyat. Selain itu, dakwah bil hal saya secara langsung masih sebatas keresahan batin. Tiap kali pulang malam dari kampus, saya sering menyaksikan kengerian hidup anak jalanan di perempatan Slipi Petamburan. Pernah suatu ketika, ada seorang anak jalanan yang hendak mengamen di angkot yang saya tumpangi. Ia berteriak memanggil adiknya yang ketinggalan naik. Sang adik berlari, namun kecepatan relatif angkot telah mengalahkan langkah kecilnya. Sang kakak kesal, dan turun dengan cekatan di saat angkot masih melaju. Anak kecil itu raib dari pandangan saya, tergantikan oleh petak-petak cahaya yang menyoroti bagian belakang mobil. Dakwah saya.., tertahan hanya sampai batin. Atau jangan-jangan.. itu bukan bagian dari dakwah.

Berikutnya, dakwah personal. Ini adalah dakwah favorit saya. Karena lebih terasa dari hati ke hatinya. Hasil yang didapat variatif. Kadang, membuat hati ini terharu, ketika melihat objek dakwah berubah menjadi lebih baik. Lebih tekun ibadahnya. Kadang, putus asa karena sulitnya menyematkan celupan Islam ke hati objek dakwah. Tidak jarang, saya menarik diri dari kehidupan personal, demi berjuang mengenalkan orang lain akan keindahan Islam yang belum sepenuhnya mereka rasakan. Semua bentuk dakwah yang saya jalani, tentu tidak terlepas dari orang-orang yang membersamai. Para saudara di jalan Allah. Jujur, jika liburan datang, bagian tersulit dari menikmati liburan itu adalah rasa rindu ingin berkumpul bersama mereka. 

Para lokomotor dakwah di Fakultas Bahasa dan Seni UNJ. Seorang sahabat pernah membuatkan kami poster yang berisi tulisan; you never walk alone on DAKWAH. Saya tempel poster itu di lemari, dan memandangnya setiap kali rasa lelah menghampiri. Itulah, cara menyingkirkan rasa penat yang paling sederhana. Selain dari mendengar lagu bingkai kehidupan, atau mars pemuda Islam. Satu hal penting yang tidak boleh saya tinggalkan sebagai pengemban dakwah adalah; belajar shirah (sejarah). Bagi saya, shirah merupakan kaca spion kita dalam berdakwah. Melirik sepintas ke belakang (flashback), untuk mengetahui strategi apa yang pas untuk dilancarkan. Memodernisasi shirah, menerjemahkannya dan menyesuaikannya dengan zaman. Sederhananya seperti ini, jika ada suatu persoalan, kita perlu melirik referensi shirah yang berkaitan dengan masalah tersebut, lalu diaplikasi dengan sedikit modifikasi agar sesuai dengan zaman saat ini. Misalkan, saya belajar tentang pentingnya berdakwah ke orang-orang penting/para pemegang kekuasaan, atau istilah gaulnya the MVP (the Most Valuable Person), dari kisah turunnya surat ‘Abasa. Perihal kedatangan Abdulllah Ibn Ummi Maktum ketika Rasulullah sedang berdakwah ke para pembesar Quraisy. Begitupun, dengan adanya sisipan dakwah yang strategis saat kita melantunkan Al-Qur’an dengan suara merdu. Ingat kembali, ketika dulu Umar bin Khattab terketuk untuk masuk Islam karena ayat-ayat Al-Qur’an berhasil menelusup masuk ke hatinya. Semua itu penting untuk sama-sama kita pelajari. Belum lengkap rasanya, jika seorang pendakwah belum pernah membaca habis buku shirah nabawiyah.

          Kembali ke istilah totalitas dakwah. Entah mengapa, saya suka sekali dengan frase ini. Seolah, setiap detik dalam hidup adalah dakwah. Belajar di kelas, berorganisasi, bahkan sampai makan di kantin... ada sisipan dakwah yang kita pikirkan. Istilah sosialnya; memikirkan umat. Dan siapapun yang sedang memikirkan umat, tentu bukan simpul senyum yang tampil di wajahnya, melainkan lipatan di kening, yang menandakan betapa tugas kita belum selesai. Mungkin tidak berlebihan jika saya katakan, bahwa dakwah ini dibangun dari air mata, peluh, dan tubuh yang remuk kelelahan. Menyisakan lingkar mata yang hitam menandakan jam tidur yang tidak sesuai kehendak tubuh.

          Dakwah ini yang merenggut segalanya yang saya dan rekan-rekan saya miliki. Tapi bukan jalan dakwah namanya, kalau tidak ada keikhlasan untuk merelakan segalanya itu. Bukankah tujuan hidup kita adalah Allah? Bosan? Lelah? Mengeluh? Ingin lari, dan futur? Seringkali saya rasakan. Tapi lekas- lekas saya teringat dengan tulisan KH. Rahmat Abdullah, bahwa kita mesti terus bergerak sampai kelelahan lelah mengikuti kita. Terus bertahan, sampai kefuturan futur menyertai kita. 

Lalu, bersamaan dengan itu saya ingat- ingat kembali mengapa dulu memilih jalan ini? Ada satu hal yang biasa saya keluhkan di jalan dakwah, yaitu; mengapa Allah menghidupkan saya di zaman ini?. Zamannya para pemimpin dzalim. Zaman yang di dalamnya fitnah bertebaran. Menjadi pendakwah, berarti harus siap diolok-olok sebagai teroris, Islam fanatik, dan sebangsanya. Tidak jarang, saya mencukur bulu dagu untuk menyamarkan diri, agar terlihat lebih netral. Barangkali tiga puluh tahun yang akan datang, kita mesti membuat tato (tidak permanen) demi menembus pergaulan objek dakwah. 

Dakwah sekarang berhadapan dengan perang pemikiran. Perang yang tidak jelas siapa pemenang dan pecundangnya? Yang jelas, selagi para kaum zindiq bebas menebar kesesatan, berarti mereka tengah berada selevel di atas kita. Lalu, kapan semua ini berakhir? Kapan para pendakwah menemukan muara perjuangannya? Tanya saya di sela-sela kefuturan yang mengigit. Dan saya jawab sendiri pertanyaan retoris itu. Akhir dari sebuah perjalanan dakwah bukan ketika turunnya surat Al-Maidah ayat 3. Akhir dari sebuah perjalanan dakwah bukan ketika Muhammad Al Fatih berhasil menaklukan konstantinopel. Bukan pula ketika fathuh Makkah. Ataupun ketika Islam berhasil menjadi agama terbesar kedua di Amerika. Akhir dari sebuah perjalanan dakwah adalah kemenangan ISLAM, atau mati sebagai syuhada. Mati ketika hati masih bertaut pada kesetiaan akan dakwah. Maka begitulah, saya dan para pejuang sejati, tidak akan berhenti di jalan ini sebelum semuanya berakhir. Sebelum panji-panji itu berkibar, atau selongsong peluru menembus ke dalam daging. 

“Demi Allah, andai saja mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, (lalu mereka minta) agar aku meninggalkan urusan (agama) ini, maka demi Allah, sampai urusan (agama) itu dimenangkan oleh Allah, atau aku binasa di jalannya, aku tetap tidak akan meinggalkannya.” (HR. Ibn Hisyam)


-Heri Samtani-


 gambar diambil dari : fauzan-magetan.blogspot.com